DI ruangan kelas berukuran mini 3 x 3 meter, Tatang, 52 seorang disabilitas netra dengan semangat mengajar kepada murid-murid disabilitas Sekolah Luar Biasa (SLB) ABCD Caringin Bandung. Meski keadaan fisik ada kekurangan, Tatang tidak menghentikan semangat dan tekadnya menjadi seorang pendidik.
SLB ABCD Caringin Bandung dibangun mandiri oleh Tatang dan kakaknya yang sudah almarhum, Ade Daud, pada 2003 silam dengan tekad agar anak disabilitas dapat mandiri dan bersaing dengan anak lainnya. Ia merelakan rumah miliknya ini disulap menjadi sebuah sekolah sehingga tak heran jika kelasnya berukuran mini.
"Kelas-kelas di sini hanya 3x3 meter karena bekas kamar. Total ada 12 kelas, tetapi kecil dari dua bangunan rumah," kata Tatang kepada Media Indonesia, Senin (21/2).
Meski berukuran mini, Tatang mengklaim sekolahannya ini sudah cukup komplit dengan musala, perpustakaan, hingga aula. Tatang mengaku bangunan rumah belum dirombak secara keseluruhan, tetapi pernah dilakukan perubahan seperti penyekatan pakai tripleks untuk membuat kelas-kelas dan sebagainya. Kini SLB ABCD Caringin sedang membangun sebuah asrama bagi ana-anak kurang mampu.
Tatang terlahir di keluarga yang tak asing dengan gangguan penglihatan. Dari 7 bersaudara, ada 4 orang merupakan tunanetra, termasuk dirinya. Keempat saudara seluruhnya tunanetra ini memiliki memiliki latar belakang riwayat kebutaan yang berbeda-beda.
Tatang mengalami gangguan penglihatan sejak umur 7 tahun. Saat itu penglihatannya terus menurun hingga diumurnya 16 tahun ia memutuskan untuk dioperasi. Namun sayang, seusai menjalani operasi kondisi, matanya justru semakin memburuk yang menyebab buta total.
"Kondisi itu membuatku frustrasi dan hampir tak mau sekolah lagi karena seolah-olah masa depan suram. Seakan-akan masa depan itu tak ada lagi buat saya," kata Tatang.
Namun, hidup memang terus berjalan. Tatang mencoba ikhlas dan bangkit dari keterpurukannya. Berkat nasihat dari kakak-kakaknya, ia belajar dari nol, mulai cara membaca huruf Braille, cara berjalan menggunakan alat bantu, dan sebagainya.
Ia merasakan betul bahwa menjadi disabilitas seringkali dipandang sebelah mata, bahkan tak jarang kurang mendapatkan kasih sayang dari orangtuanya. Membuat sekolah menjadi upayanya merangkul anak disabilitas untuk dapat merasakan kasih sayang, merasakan pergaulan bersama teman-temannya seiring dengan meningkatkan kemampuan diri.
"Anggap saja rumah saya ini sebagai tempat bermainnya mereka. Ini rumah saya sendiri yang diubah menjadi sekolah khusus kebahagiaan anak-anak disabilitas," lanjut Tatang.
Ia ingat betul saat itu banyak anak disabilitas di lingkungan rumahnya belum mengenyam pendidikan. Dengan bekal dari masa kuliahnya di Universitas Padjadjaran serta dukungan dari keluarga, ia bertekad untuk menyosialisasikan kepada orangtua di lingkungannya agar memahami bahwa anak disabilitas pun harus sekolah. Disabilitas memiliki hak, kewajiban, dan tanggung jawab yang sama. Menurutnya, semua orang, terlebih para disabilitas harus memiliki ilmu dan wawasan luas untuk bisa mandiri, paling tidak untuk dirinya sendiri di masa depan.
"Ini tantangan bagi kita untuk memberikan ilmu bahwa ini titipan Allah, harus dirawat dan dipelihara. Kadang kita baru sampai pagar saja sudah diusir. Kadang juga dianggap pengemis karena tunanetra itu identik dengan pengemis," kata Tatang.
Ia ingat betul perjuangannya di awal hanya mampu merangkul 5 sampai 9 orang. Tantangan demi tantangan pun terus ia hadapi seperti halnya mendidik murid-muridnya dengan fasilitas seadanya.
Pengadaan fasilitas kelas seperti meja, kursi, dan lemari menggunakan uang iuran dari keluarganya. Saat sekolah du tanah seluas 218 meter persegi itu, masih ada kandang ayamnya.
Berstatus honorer
Kini berkat usahanya yang tek kenal lelah, ada 46 murid yang bersekolah di SLB ABCD, terbagi dalam beberapa tingkatan mulai SD, SMP, dan SMA. Sekolah ini memiliki murid dari 4 jenis disabilitas seperti nama sekolahnya, yakni SLB ABCD. A untuk murid tunanetra, B untuk murid tunarungu, C murid dengan kemampuan intelijensi di bawah rata-rata atau biasa disebut dengan tunagrahita, dan D untuk murid tunadaksa.
Untuk pengajar, SLB ABCD Caringin telah memiliki 12 pengajar, 4 orang di antaranya merupakan pegawai negeri sipil (PNS) dan delapan lainnya termasuk Tatang masih guru honorer. Menurutnya, pengajuan sebagai PNS memanglah sulit terlebih usianya sudah terlampau tua sehingga kesempatannya sudah tertutup.
"Status saya memang honorer, tetapi karena pengabdian dan memang rumah saya dipakai untuk sekolah, ini bekal saya untuk kepantingan masyarakat luas, khususnya kawan kita golongan disabilitas," ungkapnya.
Untuk mengoperasikan sekolah, Tatang mengandalkan dana bantuan operasional sekolah (BOS) dan sumbangan pembinaan pendidikan (SPP) dari orangtua siswa.
"Kami memberikan kebebasan kepada orangtua karena kami melihat kemampuan orangtua. Ada yang bayar setengahnya, atau tidak bayar pun tidak sedikit, kok. Semua anak berhak mendapatkan pendidikan yang layak," tegasnya.
Tatang berharap SLB ABCD nantinya memiliki lahan lebih luas sesuai dengan aturan, yakni sekitar 2.000 meter persegi dengan luas kelas masing-masing 5x5 meter untuk beberpa ruangan, seperti laboratorium, ruang musik, aula, ruang olahraha, upacara, dan fasilitas lainnya.
Ia juga berharap memiliki kendaraan operasional untuk jemputan anak didiknya sehingga memudahkan mobilitas para disabilitas, terlebih unbtuk anak kurang mampu. (N-1)