24 February 2022, 06:00 WIB

Sungkem Tlompak: Laku Tradisi Merawat Alam


Rr Paramitha Dyah Fitriasari |

Tung, tung, tung… Tung… Tung, tung, tung, tung… Tung… Bunyi alat musik truntung terdengar sangat keras mengiringi langkah kaki ratusan warga Dusun Keditan, Desa Pogalan, Pakis, Magelang, Jawa Tengah. Bersama sejumlah seniman dan tokoh desa, masyarakat berbondong-bondong berjalan kaki sejauh tujuh kilometer menuju dusun tetangga, yaitu Dusun Gejayan di Desa Banyusidi, untuk menggelar ritual yang disebut Sungkem Tlompak.

Masyarakat di lereng Gunung Merbabu tersebut percaya bahwa tradisi Sungkem Tlompak yang diadakan sejak pagi hari setiap 5 Syawal setelah Idul Fitri itu merupakan salah satu ritual untuk menghormati para leluhur. Caranya dengan melakukan arak-arakan yang dipimpin seorang ‘juru kunci' menuju ke sumber air atau mata air bernama Tlompak yang ada di Dusun Gejayan.

Sungkem, menurut tokoh desa setempat, artinya menghormati leluhur. Ritual tersebut juga menyimbolkan komitmen dan kebersamaan. Secara fisik, saat tradisi berlangsung, masyarakat dari Dusun Keditan berhalalbihalal di Dusun Gejayan. Namun, secara spiritual, ritual berlangsung di mata air bernama Tlompak.

Bagi saya, ritual yang rutin dilaksanakan sejak 1932 tersebut tak cuma unik, tapi juga memiliki makna dan pesan yang luar biasa. Karena dilakukan pada Syawal, ada keharusan secara budaya untuk mengadakan sungkeman. Secara luas, lewat ritual tersebut, masyarakat berdoa kepada Tuhan untuk memohon keselamatan, rezeki yang cukup, dan kesehatan.

Di luar itu, ada satu hal yang tidak disadari masyarakat, yakni mereka juga sudah turut melestarikan alam di sekitar mata air. Karena menjadi tempat melakukan ritual, ditambah mitos-mitos yang beredar, masyarakat dusun rutin membersihkan sumber mata air dan tak berani menebang pohon di sekitarnya.

Kenyataan itulah yang mendorong saya untuk mengamati lebih dekat ritual yang hampir tak pernah saya temukan di tempat lain ini. Selama delapan tahun, saya melakukan penelitian dan pengamatan. Waktu riset sangat panjang karena saya melakukannya di wilayah Kecamatan Pakis secara luas di bidang seni dan budaya.

Universitas Gadjah Mada (UGM) sendiri juga berupaya agar ritual Sungkem Tlompak tetap lestari. Salah satunya ialah dengan memberikan perspektif dalam kemasan sarasehan bersama masyarakat. Kepada masyarakat, kami sampaikan tentang pentingnya menjaga tradisi budaya atau istiadat warisan leluhur sekaligus menjaga alam.

 

Janji sesepuh di Tlompak 

Kenapa warga Dusun Keditan merasa wajib melakukan ritual tersebut? Hal itu berkaitan dengan cerita pada masa lalu yang beredar di masyarakat. Konon, dusun tersebut pernah dilanda paceklik hebat yang mengakibatkan gagal panen. Kehidupan masyarakatnya yang mayoritas menggantungkan hidup sebagai petani menjadi serbasulit. Makanan mahal serta susah didapat. Air sebagai sumber kehidupan juga tidak ada. Imbasnya, banyak warga yang jatuh sakit.

Beberapa sesepuh dusun kemudian memutuskan untuk berziarah ke mata air Tlompak di Desa Gejayan. Di sana, mereka bertirakat dan bertemu ‘penunggu’ mata air yang oleh masyarakat sekitar dipercaya sebagai Prabu Singobarong. Dari ‘pertemuan’ dengan sang penunggu tersebut, muncul kesepakatan, bahwa Dusun Keditan akan kembali subur dan makmur dengan satu syarat, yakni warga wajib menggelar pentas kesenian keprajuritan di Dusun Gejayan setiap 5 Syawal sebagai bentuk penghormatan terhadap leluhur.

Hingga sekarang, warga teguh melaksanakan kewajiban dan menjalankan tradisi tersebut sesuai dengan tata cara yang sudah diwariskan meski zaman terus berkembang. Yang berubah ialah jika dulu jalan yang dilalui masih berupa tanah dan melali pematang sawah, kini sudah dibangun jalan setapak berlapis semen sehingga perjalanan ritual menjadi lebih mudah. Selain itu, barisan peserta kirab mulai ditata agar secara visual lebih indah. Urutan penari dan peserta kirab disesuaikan dengan figur atau tokoh yang dibawakan.

 

Masa pandemi

Di masa pandemi covid-19 pun ritual tetap dilaksanakan. Tentu saja dengan menerapkan protokol kesehatan. Jumlah peserta kirab yang biasanya mencapai 100 orang lebih dibatasi menjadi 20 orang. Begitu juga dari segi pengisi acara dan penonton.

Di samping itu, tidak dilakukan pentas kesenian setelah ritual, kecuali pentas barong yang memang jadi kewajiban. Meski demikian, kesakralan dari inti dan niat ritual tersebut tetap terjaga dengan baik.

Terkait pentas seni, dahulu sebelum pengikut dan penari belum sebanyak sekarang, kegiatan tersebut dilakukan di depan mata air Tlompak. Sekarang karena warga yang ikut dan penari yang terlibat semakin banyak, pentas diadakan di rumah kepala desa. Namun, para penari tetap datang ke sumber mata air menggunakan kostum lengkap untuk berdoa di sana.

Bukan hanya masyarakat Dusun Keditan dan Gejayan yang menampilkan pentas seni, melainkan juga dari desa-desa lain. Mereka berkumpul mempertunjukkan kesenian masing-masing sebagai rasa syukur atas nikmat berkah dari Tuhan. Ritual tersebut pada akhirnya menjadi milik bersama yang selalu ditunggu saban Lebaran. (*/Hym/X-6)

 

 

 

BERITA TERKAIT