10 February 2022, 06:00 WIB

Mengukur Ketahanan Ideologi Pancasila


Septiana Dwiputri Maharani |

”Nek mriki sing nanggung kebutuhan warga isoman (isolasi mandiri) kelompok Dasawisma, Pak. Dana dipendhet saking iuran anggota, (Kalau di sini yang menanggung kebutuhan warga yang isolasi mandiri adalah kelompok Dasawisma, Pak. Dana diambil dari iuran anggota kelompok Dasawisma). Demikian dikatakan Hari Sartana, Ketua RT 02/ RW 11 Tegal Senggotan, Bantul, DI Yogyakarta.

Itu adalah secuil potret kearifan lokal bangsa Indonesia dalam menghadapi pandemi covid-19. Sesungguhnya masih banyak kearifan lokal yang ada di dalam masyarakat Indonesia dalam mengatasi ragam problematika pandemi covid-19 tanpa menunggu uluran tangan dari pemerintah.

Kreativitas masyarakat Indonesia dalam memecahkan masalah-masalah sosial yang dihadapi merupakan modal sosial yang sangat besar guna menjaga tegaknya negara ini. Benar kiranya jika bangsa ini dikenal sebagai bangsa gotong royong. Bangsa yang pada dasarnya mengandalkan pada nilai-nilai komunal, bukan individualitas.

Dalam konteks yang lebih luas, gotong royong yang dilakukan masyarakat tecermin dalam berbagai kegiatan, misalnya arisan, perkumpulan trah, kerja bakti, dana sosial, dan ronda kampung. Konsep utama gotong royong adalah kebersamaan, sukarela, dan bergilir, yang merupakan cerminan nilai-nilai Pancasila. Keberadaan gotong royong merupakan salah satu modal penting dalam menguatkan ketahanan ideologi Pancasila, yang menjadi modal utama dalam menjaga ketahanan nasional. Hubungan antara ketahanan nasional dan ideologi Pancasila adalah, bahwa Pancasila merupakan alat pemersatu dan penguat ketahanan nasional. Pancasila disepakati secara politik yang mendasari dibentuknya negara Indonesia, juga digunakan sebagai arah dan cita-cita pembangunan bangsa dan negara. Ideologi Pancasila dibangun sebagai gagasan atas kondisi kebinekaan yang dimiliki oleh bangsa ini.

Walaupun banyak kearifan lokal bangsa Indonesia yang bisa memperkuat ketahanan ideologi Pancasila, masih banyak pula permasalahan ideologi yang sedang membelenggu bangsa ini. Misalnya, munculnya berbagai isu gerakan pembentukan negara berbasis agama sampai dengan praktik-praktik liberalisasi di berbagai sektor kehidupan. Permasalahan ideologi tersebut memiliki dampak yang besar dalam perjalanan bangsa ke depan. Ketika ideologi bermasalah maka seluruh aspek kehidupan suatu bangsa akan bermasalah. Berkaca pada hal tersebut, Universitas Gadjah Mada (UGM) berupaya sekuat tenaga menjaga agar ketahanan Pancasila tetap kukuh.

 

Alat diagnosis 

Salah satu upaya yang dilakukan UGM ialah dengan menyusun alat diagnosis ketahanan ideologi Pancasila, yakni Indeks Ketahanan Ideologi Pancasila (IKIP). IKIP merupakan alat ukur yang dihasilkan tim peneliti UGM yang berfungsi sebagai alat diagnosis terhadap tingkat ketahanan ideologi Pancasila di Indonesia.

IKIP juga bisa digunakan untuk mendeteksi sedini mungkin berbagai potensi pelemahan ideologi Pancasila di suatu daerah. Dengan demikian, berbagai hal yang mengarah pada kehancuran bangsa dan negara bisa segera tertangani secara cepat. Instrumen semacam ini sangat dibutuhkan Indonesia di tengah-tengah berkecamuknya proxy war. Pada level praktis pemangku kepentingan bisa menggunakan hasil pengukuran IKIP untuk menyusun program kebijakan penguatan kapasitas sumber daya manusia (SDM) dan kelembagaan berdasarkan nilai-nilai keindonesiaan.

Ke depan, IKIP diproyeksikan memiliki kedudukan dan kemanfaatan yang tidak kalah strategisnya dengan indeks-indeks yang sudah ada, seperti Indeks Pembangunan Manusia, Indeks Demokrasi, dan Indeks Korupsi. Keberadaan IKIP penting untuk mengukur masyarakat dalam kehidupan bersama dengan tonggak nilai-nilai Pancasila yang digunakan dalam keseharian, yang mengarah pada kehidupan pluralitas dan multikultural.

 

Aspek-aspek IKIP

Mengukur ketahanan ideologi Pancasila tidak cukup hanya dihitung bagaimana tingkat pengetahuan masyarakat terhadap nilai-nilai Pancasila saja. Karena itulah, IKIP ini berusaha untuk mengukur tiga aspek pada masyarakat terhadap Pancasila, yaitu pengetahuan, sikap, dan perilaku. Dengan begitu, akan diperoleh potret yang menyeluruh terhadap kondisi masyarakat Indonesia dalam pengamalan nilai-nilai Pancasila.

IKIP bersifat kuantitatif dan diperoleh dengan menggunakan metode survei terhadap masyarakat secara langsung yang memiliki rentang umur 17-40 tahun. Instrumen ini ibarat sebuah kamera yang berfungsi untuk memotret kondisi ketahanan ideologi Pancasila pada suatu daerah. IKIP hanya mampu memotret data permukaan, bukan kedalaman data. Seperti halnya kamera, keakuratan hasil potretan tergantung seberapa besar piksel yang digunakan. Piksel dalam IKIP ini adalah responden. Keakuratan data sangat bergantung pada jumlah responden yang diteliti.

Aspek yang diukur dalam IKIP ini diambil dari nilai-nilai utama sila-sila Pancasila, yakni Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan, dan Keadilan Sosial. Kemudian dari setiap aspek tersebut dikategorisasikan lagi ke dalam enam indikator, yaitu Politik, Kenegaraan-kebangsaan, Sosial, Kebudayaan, Keagamaan, dan Ekonomi. Dari setiap indikator tersebut diturunkan lagi ke dalam item-item. Item-item tersebut disusun dengan mempertimbangkan aspek pengetahuan, sikap, dan perilaku individu dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Pertimbangannya, semakin baik tingkat pemahaman, sikap, dan perilaku masyarakat dalam hidup berbangsa dan bernegara maka akan semakin baik tingkat ketahanan ideologi Pancasila.

Proses penyusunan IKIP memakan waktu kurang lebih dua tahun untuk bisa menghasilkan instrumen yang benar-benar bisa digunakan dengan baik. Selama dua tahun tersebut, tim yang terdiri atas Septiana Dwiputri M, Surono, Hadi Sutarmanto, Ahmad Zubaidi, dan Bagus Riyono melakukan kegiatan berupa FGD, penyusunan indikator, uji coba intrumen, analisis statistik, sampai dengan didapatkan instrumen yang dianggap sahih. Alat ukur ini tidak hanya bisa mengukur tingkat ketahanan ideologi Pancasila secara umum, tapi juga bisa digunakan untuk melihat tingkat kekuatan pada aspek-aspek yang lebih dalam lagi, seperti ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan.

Sebagai catatan akhir, IKIP merupakan salah satu jawaban atas berbagai pertanyaan dari berbagai pihak yang mengungkapkan bahwa Pancasila selama ini berada pada level ‘awang-awang’ dan belum mampu menyentuh level praktis. Meskipun terjadi banyak reduksi nilai-nilai Pancasila pada upaya ini, diharapkan dengan instrumen ini berbagai pihak bisa memanfaatkannya untuk memperkuat ketahanan ideologi Pancasila sehingga kedaulatan bangsa dan negara menjadi semakin kuat. (X-16)

 

BIODATA

Nama: Dr Septiana Dwiputri Maharani

Tempat, tanggal lahir: Tegal, 15 September 1971

Pendidikan:

S-1 Filsafat di Universitas Gadjah Mada (1990-1995)

S-2 Filsafat di Universitas Gadjah Mada (1996-2001)

S-3 Filsafat di Universitas Gadjah Mada (2010-2015)

Hak Kekayaan Intelektual:

1. Pengukuran Indeks Ketahanan Ideologi Pancasila (IKIP) (2019)

2. Menguak Hakikat Kepribadian Individu Melalui Konsep Otonomi Fungsional Gordon W. Allport (2020)

3.Film Dokumenter: Metode Pengawetan Kayu Tradisional, Kearifan Lokal Masyarakat Klaten, Jawa Tengah, dalam Menjaga Etika Lingkungan (2021)

4. Buku Filsafat dan Kearifan Lokal dalam Agama dan Budaya Lokal (2021)

 

BERITA TERKAIT