BAHAYA kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Tanah Air masih menjadi ancaman dan permasalahan yang terjadi hamper setiap tahun. Dampak negatifnya sangatkompleks, memengaruhi ekologi dan merusak lingkungan. Hubungan Indonesia dengan negeri tetangga pun menjadi sensitive akibat polusi asap lintas batas (transboundary haze pollution).
Selama ini kebakaran hutan sering kali sangat sukar dideteksi dan dipadamkan karena terkendala kondisi geografis dan medan hutan yang luas sulit dijangkau manusia. Ketika hutan terbakar, jarang ada yang mengetahui titik kebakarannya.
Karena itu, salah satu cara efektif untuk mengawasi hutan dan mendeteksi titik api di hutannya itu lewat pemantauan udara menggunakan pesawat nirawak (drone) atau juga dikenal sebagai unmanned aerial vehicles (UAV). Dilengkapi kamera termal dan sensor cerdas, drone dapat mendeteksi dini titik api sehinga dapat dipadamkan dengan mudah dan cepat.
Permasalahan itu mendorong peneliti Universitas Gadjah Mada (UGM) mengembangkan inovasi untuk menanggulangi bencana karhutla sedini mungkin. Intinya, kunci penanganan kebakaran hutan ialah deteksi dini sebelum api membesar dan koordinat titik api diketahui sehingga tim pemadam dapat melakukan pemadaman secara langsung.
Program Studi Teknik Mesin, Fakultas Teknik, UGM, pun telah melakukan penelitian pengembangan pesawat tanpa awak. Sejak 2012 hingga sekarang bergelut di Center for Manufacturing Technology (CeMTec), tim peneliti yang saya pimpin sudah memulai manufaktur pesawat nirawak menggunakan komposit. Sistem propulsi mesin menggunakan bahan bakar.
Dinamai Elang Caraka, pesawat nirawak tersebut menjalankan misi surveillance dan monitoring untuk deteksi dini kebakaran hutan. Teknologi drone itu dirancang untuk mampu terbang selama enam jam dan pengawasan suatu wilayah secara autonomous. Operator yang mengendalikan dari jarak jauh bias melihat rekaman gambar secara langsung melalui monitor yang ada di stasiun pengendali darat atau ground control station (GCS).
Pesawat nirawak memiliki beragam fungsi di berbagai aspek kehidupan. Dari tahun ke tahun banyak sekali inovasi yang diciptakan baik dari akademisi maupun industri(komersial). Hal itu juga memicu saya untuk melakukan pengembangan pesawat nirawak secara mandiri.
Solusi tepat dan efisien
Sejak kebakaran dahsyat melenyapkan 2,6 juta hektare (ha) hutan dan lahan di Indonesia pada 2015, karhutla dapat ditekan. Namun, nahas tiga tahun berselang karhutla kembali membabi buta. Pada 2019, karhutla melanda seluruh provinsi kecuali Jakarta, menghanguskan 1,6 juta ha hutan dan lahan.
Sementara itu, pada 2021, luas karhutla periode Januari-Februari berdasarkan penghitungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan bersama Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional seluas 4.813 ha. Angka itu menurun sebesar 51% jika dibandingkan dengan 2020.
Enam provinsi langganan karhutla--Riau, Sumatra Selatan, Jambi, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan--pun seakan tak bisa mengelak dari bencana klimatologi tersebut. Kebakaran hutan sangat sulit dideteksi dan dipadamkan terkendala kondisi geografis dan medan hutan yang luas sulit dijangkau manusia. Ketika hutan terbakar, jarang ada yang mengetahui titik kebakarannya.
Sejauh ini pemerintah Indonesia telah berupaya mengambil langkah-langkah tegas untuk mencegah karhutla dalam jangka panjang. Namun, frekuensi dan luasnya kebakaran hutan dan lahan gambut yang terjadi setiap tahun menunjukkan program pencegahan dan sistem pengendalian dini belum berjalan efektif.
Lebih murah
Selama ini deteksi titik api di hutan dilakukan dengan patroli udara melalui helikopter, yang memakan biaya yang tinggi dan hanya bisa dilakukan siang hari. Ketika terjadi kebakaran di malam hari, api sudah telanjur besar pada keesokan hari sehingga sulit dipadamkan.
Untuk itu, kehadiran inovasi Elang Caraka yang bias dioperasikan baik siang maupun malam bias turut membantu program penanganan bencana karhutla pemerintah pusat dan daerah. Pesawat nirawak itu dilengkapi kamera termal dan sensor cerdas electronicnose (e-nose) sehingga dapat memantau dan mengidentifikasi kebakaran hutan lebih dini dan akurat.
Sensor e-nose mendeteksi adanya asap yang ditunjukkan oleh meningkatnya grafik output di teknologi penciuman cerdas tersebut. E-nose bekerja seperti halnya hidung manusia, menggunakan larik (array) sensor gas yang mampu mendeteksi asap.
Data lapangan yang dihimpun dan disuplai Elang Caraka tentunya akan mengatasi kendala dalam pengambilan keputusan yang tepat. Tim pemadam pun dapat melakukan pemadaman secara langsung sebelum titik api membesar dan semakin luas.
Biaya operasional Elang Caraka juga jauh lebih murah jika dibandingkan dengan helikopter. Karenanya, kehadiran drone karya UGM diharapkan membantu menekan angka karhutla mengingat hutan Indonesia merupakan paru-paru dunia.
Sebagai gambaran, biaya operasional helikopter mencapai Rp5,7 juta per jam (menurut informasi di bwifly.com). Sementara itu, Elang Caraka hanya membutuhkan bahan bakar 4-5 liter untuk terbang selama 6 jam. Bahan bakar yang digunakan berupa pertalite dan sedikit campuran oli sehingga hanya menghabiskan biaya kurang lebih Rp50 ribu. Biaya produksi satu unit Elang Caraka pun jauh lebih murah, yaitu Rp200 juta. (Hym/X-6)