MANUSKRIP atau naskah tulisan tangan merupakan salah satu hasil budaya peninggalan leluhur. Dari manuskrip kita mengetahui pola pikir orang-orang di masa lalu, strategi mereka mengatasi permasalahan hidup, hingga prediksi peristiwa yang bakal terjadi. Di dalamnya tersaji pula berbagai cara pengobatan tradisional, kiat meningkatkan taraf hidup, prestasi, dan kematangan jiwa seseorang.
Sayangnya, karena kekurangpahaman atas aksara dan bahasa daerah, manuskrip-manuskrip yang disimpan di berbagai perpustakaan dan museum seolah telah menjadi onggokan kertas yang tak terjamah, yang lambat-laun akan rusak, lapuk dimakan usia.
Saat ini sudah banyak dilakukan penyelamatan fisik naskah melalui digitalisasi dan sejenisnya. Yang masih sangat dibutuhkan ialah menyebarluaskan pesan teks kepada khalayak umum. Usaha ini dapat dilakukan melalui program alih aksara dari aksara daerah ke Latin, dan terjemahan dari bahasa daerah ke bahasa Indonesia.
Didorong oleh keinginan untuk mewartakan pesan teks yang masih terpendam di dalam manuskrip kuno yang tersimpan di Perpustakaan Pura Pakualaman Yogyakarta, tim peneliti Universitas Gadjah Mada (UGM) pun melakukan sejumlah kajian. Hasil pembacaan kami atas suatu manuskrip salah satunya diterjemahkan menjadi sebuah motif batik.
Untuk diketahui, Gusti Kanjeng Bendara Raden Ayu Adipati (GKBRAA) Paku Alam (permaisuri Paku Alam X) gencar melakukan terobosan untuk menyosialisasikan pesan teks dari naskah kuno scriptorium Pakualaman lewat wastra batik dan sejumlah fragmen tari.
Dalam kurun 11 tahun mulai sejak 2010, telah tercipta minimal 95 motif batik yang terinspirasi dari iluminasi yang kemudian dikenal dengan sebutan batik naskah. Puluhan motif itu lahir lewat hiasan dekoratif, termasuk rubrikasi dan wedana renggan gambar ornamental pembingkai teks.
Motif batik Tangguh Waskitha merupakan salah satu hasil penelitian saya dibantu Sudibyo dan D.S. Nugrahani dari Fakultas Ilmu Budaya UGM pada 2018. Penelitian Terapan Unggulan Perguruan Tinggi (PTUPT) Dikti berjudul Pesan Leluhur dalam Naskah Kuno Pakualaman: Pelestariannya pada Motif Batik Modern tersebut menghasilkan prototipe, canting cap, dan hak atas kekayaan intelektual (HaKI) untuk Tangguh Waskitha.
Dilekati makna
Motif batik Tangguh Waskitha resmi dijadikan seragam untuk dosen dan tenaga pendidik Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada (UGM), sejak 2021. Pihak fakultas telah memercayakan produk batik cap sejumlah 250 lembar kepada Apip's Batik Yogyakarta.
Terobosan itu tentunya bagian dari upaya melestarikan budaya penting Indonesia. Tentunya lembar-lembar kain batik atau wastra batik tentu hanya menjadi sekadar onggokan kain indah jika tidak dilekati makna. Terbentuknya sebuah makna terjadi karena setiap wujud goresan memiliki arti tersendiri sesuai kehendak pencipta batik dan konsumennya.
Wujud goresan itu menyediakan berbagai tafsir sesuai horizon harapan masing-masing. Meski demikian, tafsir atas makna simbolis di sini tetap bergantung pada konteksnya. Dengan mengetahui arti motif batik yang dikenakan diharapkan dapat mensugesti diri, seperti pesan yang terkandung dalam manuskrip.
Tafsir atas makna simbolis itu juga terkandung dalam motif batik Tangguh Waskitha yang diilhami dari salah satu renggan naskah Babad Panembahan Senopati. Tangguh artinya tidak mudah menyerah, andal, dan dapat dipercaya. Adapun waskitha memiliki arti terang tiliknya atau berpengetahuan luas. Diharapkan pengguna motif batik itu selalu berupaya menjadi pribadi yang kuat, andal dalam menangani permasalahan, dan visioner (berwawasan ke depan).
Manuskrip peninggalan leluhur
Manuskrip sebagai hasil budaya masa lampau, jika dilihat dari kategori teksnya dapat dipilah antara lain sebagai teks babad (kisah sejarah bercampur sastra), hukum, piwulang, sastra, wayang, tari, bahasa, adat-istiadat, primbon, dan pawukon. Informasi tersebut ditulis di atas lembaran kertas menggunakan aksara dan bahasa daerah.
Tantangan pelestarian manuskrip adalah terkait kekurangpahaman atas aksara dan bahasa daerah. Di sinilah peran para filolog yang tugas utamanya menyajikan dan menafsirkan pesan teks dibutuhkan.
Sumbangsih mereka telah menjembatani masa lalu dengan masa kini. Para filolog itu telah menyajikan informasi yang mereka peroleh dari hasil mengkaji teks. Mereka membongkar kode bahasa dan kode budaya melalui interpretasi berdasarkan konteks kultural pada saat manuskrip itu dicipta. (*/Hym/X-6)
Tulisan 2