PERISTIWA Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 dinilai sebagai keajaiban awal abad 20 ketika para pemuda mengajukan konsep sebuah bangsa baru, Indonesia. Padahal negara Indonesia saat itu belum berdiri dan baru terbetuk 17 tahun kemudian.
"Sebagai sebuah keajaiban, semangat Sumpah Pemuda juga harus kita lestarikan. Mengingat para pemuda saat itu menyadari, bahwa bangsa Indonesia lahir dari perbedaan dan membutuhkan toleransi yang besar," ujar Ketua Umum DPP LDII KH Chriswanto Santoso, dalam keterangan yanmg diterima, Kamis (28/10).
Tanpa toleransi yang besar, Indonesia yang terdiri dari ratusan suku dan bahasa, serta beragam agama dan kepercayaan akan runtuh dalam mengarungi zaman. Chriswanto mengingatkan, Sumpah Pemuda menjadi pengingat pentingnya saling menghormati, menghargai, dan bergotong-royong seluruh elemen bangsa.
"Pendiri bangsa membangun negeri ini dengan sifat inklusif atau terbuka bukan untuk mengucilkan kelompok-kelompok tertentu karena alasan agama ataupun keyakinan. Bukan juga negeri yang etnonasionalisme, yang hanya diperuntukkan untuk suku tertentu saja,” imbuh Chriswanto.
Senada dengan Chriswanto, Guru Besar Ilmu Sejarah Universitas Diponegoro, Singgih Tri Sulistiyono mengatakan imajinasi pada pemuda mengenai sebuah bangsa dan wilayah yang disebut Indonesia tersebut menjadi ikatan yang kuat untuk mengusir kolonialisme.
Dalam bayangan para pemuda saat itu, bangsa Indonesia yang kelak lahir itu dapat mewujudkan antitesa kolonialisme yang menciptakan ketimpangan sosial dan ketidakadilan. "Ide mereka yang tertuang dalam Sumpah Pemuda menjadi terobosan baru, bahwa kesadaran mengenai pluralisme melahirkan semangat bersatu," jelasnya.
Persoalannya, saat ini menurut Singgih adalah bagaimana menjaga kemajemukan itu agar tetap lestari dan menjadi keajaiban dunia. "Kuncinya adalah toleransi. Tidak mengharamkan perbedaan saling menghormati perbedaan, bisa hidup berdampingan dalam perbedaan. Karena bangsa Indonesia lahir karena perbedaan, lahir karena adanya toleransi terhadap suku, ras, dan agama," ujarnya.
Selain tolerasi, Singgih mengingatkan dalam menjaga pluralisme sangat penting untuk memiliki kesabaran. Menurutnya semua pihak harus memiliki kesabaran sosial. "Setiap individu bisa memiliki sifat sabar, namun sebagai kelompok bisa mudah terpicu amarahnya sehingga menciptakan konflik," ujar Singgih.
Ditambahkan, semangat nasionalisme para pemuda pada 28 Oktober 1928, melahirkan semangat untuk merdeka. Saat berfokus mengusir penjajah, rakyat Indonesia belum memikirkan mengenai persoalan keadilan dan kesejahteraan. "Setelah Indonesia merdeka, pertanyaannya bukan lagi nasionalisme, tapi bagaimana negara yang merdeka ini bisa mewujudkan keadilan, menciptakan rasa keadilan, dan menghilangkan ketidakadilan,” paparnya.
Persoalan kemudian, bagaimana negeri yang telah terwujud mampu menciptakan tujuan negara, yang di dalam termaktub dalam Pembukaan UUD 1945, yakni melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia. Menurut Singgih, sangat sulit mempertahankan nasionalisme bila ketidakadilan muncul di mana-mana dan jurang sosial menganga. "Hal tersebut bisa memicu munculnya disintegrasi bangsa,” ujarnya.
Karena itu itu, sebagai negara yang merdeka, maka semangat mewujudkan civil state atau welfare state menjadi isu pokok yang harus diwujudkan pemerintah. Pemerintah dinilai harus terus berusaha memenuhi hak-hak sipil warganya, mulai dari pendidikan, kesehatan, lapangan kerja, dan kebutuhan lainnya. (RO/OL-15)