PERTUMBUHAN rokok elektrik di Indonesia cukup pesat mencapai sekitar 2,5 juta pada 2019. Hal tersebut membuat industri rokok elektrik menginisiasi beberapa prakarsa untuk mencegah produk mereka dicapai oleh kelompok di bawah umur.
Namun, terlepas dari inisiatif itu, pemerintah belum mengeluarkan regulasi resmi yang dapat mengatur penjualan serta standar rokok elektrik (rokel) yang beredar di Tanah Air. Terkait hal ini, anggota Komisi IX DPR Rahman Handoyo menyambut baik mengenai regulasi yang secara khusus ditujukan untuk mengatur rokok elektrik di Indonesia.
"Silakan saja dibuat aturan yang terbaik. Ini sudah jalan (rokel) tapi anak-anak kita di bawah umur juga masih terus dan wajib dilindungi. Itu menjadi salah satu hal yang sangat penting buat kita bersama," tambahnya dalam keterangan resminya, Kamis (18/2).
Rahmat menegaskan bahwa semua pihak harus memberikan perlakuan yang adil terhadap industri rokok, termasuk yang elektrik. Ia juga berharap regulasi tersebut nanti dapat mengatur tata cara pembuatan dan pengiklanan produk tersebut. "Saya kira juga harus adil terhadap penggunaan rokok elektrik jelas sudah banyak kajian ilmiah akademisi maupun jurnal yang membahas soal rokok elektronik," jelasnya.
Rahmat menegaskan bahwa itu menjadi tugas pemerintah untuk mendidik masyarakat terutama kategori anak di bawah umur atau remaja yang mungkin melihat rokok elektrik sebagai bagian dari gaya hidup modern. Cara berpikir seperti ini harus dihilangkan serupa dengan cara pemerintah mendidik kaum muda tentang penggunaan rokok konvensional.
Diketahui bahwa saat ini penggunaan rokok elektrik atau vaping semakin marak. Hal tersebut dibuktikan dengan transaksi yang terus meningkat di industri ini. Kesadaran masyarakat tentang dampak negatif dari rokok konvensional (tembakau) bagi kesehatan menjadi salah satu alasan sehingga kini banyak perokok yang mulai beralih ke cara mengonsumsi nikotin yang lebih aman (rokok elektrik).
General Manager dari RELX Indonesia Yudhi Saputra mengapresiasi imbauan pemerintah untuk mengatur penjualan rokok elektrik terhadap anak di bawah umur. Yudhi menyatakan, RELX sebagai produsen vape internasional sudah melakukan hal tersebut sejak awal bisnisnya.
Sejak kehadirannya di pasar, RELX telah berkomitmen untuk menjunjung tinggi nilai-nilai perusahaan dan berusaha untuk memastikan produknya tidak dapat diakses oleh pelanggan di bawah umur. “Program perusahaan kami bertujuan mencegah konsumsi produk RELX di kalangan remaja dan nonperokok,” ujarnya.
RELX berkomitmen mencegah penggunaan rokok elektrik di kalangan anak di bawah umur dan nonperokok melalui kampanye Guardian Program. “Guardian Program merupakan inisiatif perusahaan yang melibatkan dari pengembangan produk hingga penjualan. Hal ini mencakup karyawan di dalam toko serta perwakilan RELX yang bekerja dengan pengecer untuk meningkatkan verifikasi usia, sehingga produk tidak jatuh ke tangan anak-anak dan nonperokok,” sambung Yudhi.
Pada saat ini RELX telah melaksanakan program itu di Tiongkok, tempat pertama kali perusahaan beroperasi. Siapa pun yang memasuki toko resmi RELX akan diminta memperlihatkan identitas untuk membuktikan bahwa mereka cukup umur.
“Kami akan mengimplementasikan program ini di Indonesia. Kami telah melatih staf-staf kami untuk meminta konsumen menunjukan ID mereka sebelum membeli produk kami. Kami juga siap bekerja sama dengan pemerintah dalam merumuskan regulasi yang paling efektif di Indonesia,” tambahnya.
Suatu penelitian yang dilakukan Public Health di Inggris menunjukkan penurunan sebanyak 95% dari risiko kesehatan yang ditimbulkan rokok elektrik dibandingkan dengan rokok konvensional. Selain itu, banyak temuan positif yang telah dipublikasikan oleh berbagai organisasi ternama terkait rokok elektrik mendorong masyarakat beralih dari rokok konvensional ke rokok elektrik. Berdasarkan data dari Asosiasi Penguap Pribadi Indonesia (APVI), hingga saat ini telah terdapat sekitar 2,2 juta pengguna dan sekitar 5.000 produsen
rokok elektrik di Indonesia. (RO/OL-14)