TIARA Savitri, mengisahkan pengalamannya ketika pada 1987 dia harus terbaring di rumah sakit selama sembilan bulan. Saat itu, dia yang mengalami demam tinggi didiagnosis dokter terkena tifus. "Diberi antibiotik, dirawat lalu pulang. Beberapa waktu kemudian sakit lagi, didiagnosis demam berdarah karena trombosit (sel darah merah) saya rendah. Berbulan-bulan keluar masuk rumah sakit tanpa sembuh, justru memburuk," ujarnya.
Karena itu, lanjut Tiara, keluarga sempat ingin membawanya berobat ke luar negeri. Namun, sebelum rencana itu terwujud, ada dokter di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, yang mengenali tanda-tanda bahwa dia menderita penyakit lupus. Sebuah penyakit yang ketika itu masih sangat asing bagi sebagian besar masyarakat, termasuk dirinya.
"Bertemu dengan dokter kulit di RSCM setelah saya sempat dirawat di RS swasta, dokter itu mengatakan bahwa ini lupus. Waktu itu di kulit saya sudah kena ada ruam-ruam kemerahan," kenang Tiara yang juga pendiri Ketua Yayasan Lupus Indonesia.
Seiring waktu, dengan penanganan yang baik, penyakit itu dapat dikendalikan. Tiara pun bisa kembali produktif.
Kesulitan untuk mengenali gejala awal memang umum dialami pasien lupus seperti Tiara. Pasalnya, penyakit bernama lengkap lupus eritematosus sistemik itu memiliki sebaran gambaran klinis yang luas serta tampilan perjalanan penyakit yang beragam sehingga sering kali menimbulkan kekeliruan dalam mengenalinya. Karena itu pula, lupus sering disebut sebagai penyakit seribu wajah.
Dokter spesialis penyakit dalam konsultan reumatologi dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Sumariyono, menjelaskan lupus merupakan penyakit inflamasi autoimun kronis. Pada pasien dengan autoimun, ujar dia, ada kelainan pada sistem kekebalan tubuhnya.
"Mestinya sistem imun digunakan untuk merespons atau menghilangkan zat asing yang masuk ke dalam tubuh. Tetapi pada orang dengan gangguan autoimun seperti lupus, sistem imunnya justru menyerang bagian tubuh sendiri, termasuk organ dan jaringan tubuh dengan tingkat gejala yang ringan hingga parah," terangnya pada diskusi media bertajuk Periksa Lupus Sendiri, Memahami Deteksi Dini Lupus Eritematosus Sistemik, di Jakarta, kemarin. Acara itu merupakan rangkaian peringatan Hari Lupus Sedunia yang jatuh setiap 10 Mei.
Deteksi dini
Gejala lupus, terang Sumariyono, timbul secara tiba-tiba dan berkembang perlahan. Oleh karena itu, pengenalan dini penyakit ini sangat penting mengingat kematian dapat terjadi di tahun-tahun pertama karena aktivitas penyakitnya.
Selain itu, berbagai penyulit juga dapat menyertai penyakit lupus, seperti keterlibatan sistem jantung dan pembuluh darah, kelainan sel-sel darah, gangguan ginjal, dan gangguan paru. Karena itu, untuk mencegah komplikasi, lupus perlu dikenali secara dini dan mendapat tata laksana penangangan yang tepat.
"Dulu pasien kerap meninggal di tahun-tahun pertama terdiagnosis karena beratnya penyakit yang dialami, tapi saat ini dengan sistem pengobatan yang bagus, angka survival pasien bagus sehingga mereka bisa menjalani hidup seperti biasa asalkan penyakitnya terkontrol," ujar Sumariyono yang juga Ketua Pengurus Besar Perhimpunan Reumatologi Indonesia itu.
Ia menekankan, lupus belum dapat disembuhkan. Adapun tujuan pengobatan ialah untuk mendapatkan remisi panjang (menunda kekambuhan), mengurangi keparahan gejala, dan mencegah kerusakan organ akibat komplikasi.
"Pasien lupus dapat tetap produktif. Caranya, dengan mengontrol aktivitas penyakitnya. Karena itu, pasien perlu patuh minum obat" pesannya.
Obat-obatan yang diberikan pada pasien lupus, yakni obat imunosupresan yang berfungsi untuk menekan sistem imun sehingga tidak menyebabkan kerusakan organ. Namun, dosisnya harus diturunkan secara perlahan apabila penyakitnya sudah terkendali. Tujuannya untuk menghindari efek samping dari obat tersebut.
"Biasanya dokter menambahkan obat kedua untuk menurunkan kebutuhan obat imunosupresan," ucapnya.
Obat dijamin BPJS
Pada kesempatan sama, Sekretaris Direktorat Jenderal Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit Kementerian Kesehatan Asjikin Iman Hidayat Dachlan mengatakan sebagian obat-obatan untuk penyakit lupus sudah tercakup dalam program Jaminan Kesehatan Nasional-kartu Indonesia sehat (JKN-KIS).
"Sebagian sudah terkover BPJS Kesehatan, tetapi kami tengah berusaha untuk memasukan beberapa lagi daftar obat yang wajib ada untuk masuk daftar obat esensial nasional 2013. Tujuannya agar pasien tidak putus obat," ucap dia. (H-2)