16 September 2023, 18:45 WIB

Indonesia Masih Sanggup Hadapi Level Suku Bunga Tinggi AS


Fetry Wuryasti |

KEBIJAKAN suku bunga The Fed terus menjadi perhatian pasar. PT Manulife Aset Manajemen Indonesia melihat arah kebijakan bank sentral AS The Fed ke depan, yang setelah menaikan suku bunga dari 0,25% ke 5,5% sejak tahun lalu, kebijakan moneter AS saat ini berada pada level paling restriktif sejak 2009.

Tekanan inflasi AS saat ini sudah lebih melandai serta tekanan di sektor tenaga kerja juga mulai mereda.

"Efek tertunda dari akumulasi kenaikan suku bunga akan semakin terasa di ekonomi, sehingga The Fed diperkirakan sudah mencapai puncak dari kenaikan suku bunganya," kata Senior Portfolio Manager Equity Samuel Kesuma, Sabtu (16/9).

Baca juga: Risiko Suku Bunga Tinggi Bayangi Negara Berkembang di Asia Timur

Mereka juga memandang The Fed akan bertahan di level suku bunga tinggi lebih lama (higher for longer). Data ekonomi AS yang lebih baik dari ekspektasi akan memaksa The Fed untuk tidak buru-buru menurunkan suku bunga, terutama karena pandangan The Fed saat ini bahwa inflasi merupakan risiko lebih besar dibanding risiko pelemahan ekonomi.

"Potensi turunnya suku bunga The Fed akan mulai terlihat apabila terdapat pelemahan kondisi ekonomi AS," kata Samuel.

Baca juga: Naikkan Suku Bunga, Bank Sentral Eropa Nilai Cukup Jinakkan Inflasi

Implikasi kondisi higher for longer di AS, dapat memberi tantangan bagi kebijakan moneter negara lain. Posisi suku bunga AS sebagai acuan dunia dapat membatasi ruang gerak bank sentral negara lain dalam mengubah suku bunga, karena ‘terpaksa’ ikut menahan tingkat suku bunga mengikuti posisi The Fed.

"Selain itu higher for longer juga dapat memicu apresiasi atau penguatan dolar AS, yang akan menekan mata uang negara lain, dan ‘memaksa’ bank sentral lain untuk menahan tingkat suku bunga di level tinggi untuk menjaga stabilitas nilai tukar," kata Samuel.

Selain dari kebijakan moneter, kondisi suku bunga tinggi juga akan mendorong perusahaan untuk lebih bijak dalam mengalokasikan modal.

Era suku bunga tinggi akan menyebabkan biaya pendanaan lebih mahal dan mendorong perusahaan untuk mengalokasikan modal dengan lebih efisien dan efektif.

Tetapi positifnya, kondisi ini dapat menghasilkan kinerja dan profil laba emiten yang lebih berkualitas karena didorong oleh meningkatnya produktivitas, bukan karena leverage dari utang.

"Bagi manajer investasi yang melakukan pengelolaan dengan strategi aktif, kondisi ini akan menguntungkan karena analisa mendalam terkait kondisi operasional emiten dapat memberi nilai tambah untuk menghasilkan alpha jangka panjang," kata Samuel

Dengan suku bunga The Fed yang bertahan di level tinggi dan penguatan nilai dolar AS, Bank Indonesia (BI) diperkirakan masih akan mempertahankan tingkat suku bunga di level saat ini 5,75%.

BI mengindikasikan masih terdapat alat kebijakan moneter selain mengubah suku bunga acuan yang dapat digunakan untuk menjaga stabilitas nilai tukar Rupiah, seperti melakukan intervensi valuta asing dan menjaga imbal hasil obligasi di level menarik.

Ke depannya, seiring dengan kekuatan ekonomi AS mulai mereda karena efek suku bunga tinggi, maka tekanan penguatan dolar AS diperkirakan akan mereda.

"Kami juga optimistis terhadap perkembangan struktural Indonesia dari pembangunan hilirisasi industri metal yang dapat berdampak positif pada kinerja ekspor dan berkontribusi devisa untuk membantu menjaga stabilitas Rupiah," kata Samuel.

Pasar saham Indonesia bergerak relatif mendatar sepanjang tahun ini. Beberapa indikator dapat menjadi katalis bagi pasar saham Indonesia. Dari perspektif makroekonomi, Indonesia pasar yang atraktif bagi investor saham.

Indikatornya yaitu inflasi domestik yang terus melandai, sementara pertumbuhan ekonomi menguat. Ini adalah kondisi unik yang seharusnya ideal bagi pasar saham.

Pertumbuhan laba emiten juga berkinerja baik, sesuai dengan harapan, sehingga bukan menjadi faktor negatif yang membayangi sentimen.

Namun faktor eksternal mempengaruhi minat investor domestik, seperti ketidakpastian kebijakan suku bunga The Fed, kekhawatiran resesi global, ataupun efek crowding out dari penerbitan SBN ritel yang menyerap likuiditas dari pasar saham.

"Saat ini valuasi pasar saham Indonesia pada level yang sangat atraktif, berdasarkan valuasi saham atau price earning (PE) ratio di level 12x, atau 22% lebih rendah dari rata-rata historis. Sehingga, apabila terdapat pembalikan sentimen di pasar, kami melihat potensi upside yang tinggi di pasar saham," kata Samuel.

Beberapa faktor yang dapat menjadi katalis bagi pasar adalah perubahan postur kebijakan The Fed di mana terdapat indikasi suku bunga tidak naik lagi, selain itu kondisi ekonomi Indonesia yang tetap stabil dapat mengembalikan minat investor domestik terhadap pasar saham.

Untuk strategi portofolio di tengah dinamika pasar saat ini, Manulife Aset Manajemen Indonesia menyusun portofolio untuk menangkap tema pertumbuhan struktural Indonesia di bidang energi terbarukan dan juga pemulihan ekonomi Indonesia.

Transisi dunia menuju era dekarbonisasi menguntungkan bagi Indonesia yang kaya akan komoditas yang digunakan dalam teknologi energi baru terbarukan seperti nikel, tembaga, dan bauksit.

"Kami melihat terdapat emiten di pasar saham yang memiliki posisi baik untuk kapitalisasi tren ini. Secara taktikal kami juga melihat potensi dari sektor yang diuntungkan oleh pemulihan ekonomi Indonesia saat ini seperti di sektor finansial. Perbankan Indonesia dalam posisi yang baik, dengan rasio kredit bermasalah (NPL) terus menurun, serta likuiditas yang masih tinggi," kata Samuel. (Z-10)

 

BERITA TERKAIT