25 May 2023, 23:25 WIB

Manajemen Risiko Buruk Jadi Sebab Banyak Fintech Bermasalah


Fetry Wuryasti |

DIREKTUR Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan sebagian fintech bermasalah karena manajemen risiko yang tidak menyesuaikan situasi ekonomi.

Pada 2-3 tahun lalu, bank fintech yang gencar lakukan penyaluran pinjaman dengan syarat yang sangat longgar. Apalagi pinjaman konsumtif verifikasi dan syaratnya mudah dan yang penting proses cepat.

"Fintech pada 2-3 tahun lalu berlomba menaikkan laju penyaluran pinjaman untuk mendapat suntikan pendanaan dari institusional lender seperti bank," kata Bhima.

Baca juga: Kredit Macet Layaknya Hama

Begitu terjadi tekanan di sisi makroekonomi yakni inflasi naik, konsumsi juga tumbuh di bawah ekspektasi risiko borrower fintech naik tajam.

"Ada juga beberapa fintech yang hanya mengejar valuasi, tanpa strategi keberlanjutan akhirnya harus berhadapan dengan nilai kredit macet yang tinggi," kata Bhima.

Baca juga: Banyak Kredit Macet, OJK Terus Pantau TKB

Maka OJK harus tegas kepada fintech yang sudah diberi batas waktu tapi gagal mengatasi kredit bermasalah sebaiknya ditarik izinnya.

"Semakin sedikit jumlah fintech makin bagus, pengawasan jadi lebih mudah dan pembiayaan jadi lebih berkualitas," kata Bhima.

Untuk batas maksimum pinjaman konsumtif, Bhima menyarankan untuk diturunkan di bawah Rp 100 juta per borrower. Sementara untuk pinjaman produktif asal asesmen calon peminjam nya diperbaiki bukan tidak mungkin bisa mendapat batas maksimum Rp30 miliar.

"Tapi sekali lagi ini batas maksimum, tergantung skala usaha, track record dan penilaian dari fintech," kata Bhima.

 

Monitor Risiko Kredit Melalui Teknologi

PT Amartha Mikro Fintek menjelaskan strategi untuk menjaga kualitas pinjaman. Chief Risk Officer Amartha Aria Widyanto mengatakan perusahaan sebagai prosperity platform yang berfokus pada pemberdayaan UMKM akar rumput melalui layanan keuangan inklusif, telah menyalurkan permodalan lebih dari Rp 12 triliun kepada lebih dari 1,7 juta pelaku usaha ultra mikro di Indonesia. Amartha berhasil menjaga kualitas pinjaman yang terlihat dari angka NPL (Non Performing Loan) Amartha yang stabil di sekitar 1%.

"Amartha menerapkan beberapa strategi untuk menjaga kualitas pinjaman," kata Aria, saat dihubungi, Kamis (25/5).

Baca juga: Fenomena Meningkatnya Kredit Macet di Fintech Perlu Diwaspadai

Dari sisi produk, Amartha terus berinovasi menghadirkan layanan keuangan digital yang komprehensif. Layanan menjangkau segmen B2C dan ada pula layanan B2B yang membuka peluang kolaborasi dengan institusi seperti perbankan, untuk bersama-sama mendukung kemajuan ekonomi akar rumput.

Dari sisi operasional, perusahaan melakukan intervensi berupa pendampingan usaha bagi mitra UMKM. Jadi, tidak hanya menyalurkan modal tetapi juga memberikan pendampingan. Amartha mengerahkan lebih dari 8.000 tenaga lapangan untuk memonitor perkembangan usaha. Tenaga lapangan membantu memastikan pembayaran angsuran tepat waktu.

"Dari sisi teknologi, kami memonitor risiko kredit dengan data-driven risk profiling engine sehingga membantu Amartha lebih memahami profil risiko dalam menjaga kualitas pinjaman, memastikan mitra tidak mengalami over debt, dan meminimalisir risiko gagal bayar," kata Aria.

Dari sisi segmen pasar, Amartha fokus menjangkau segmen UMKM akar rumput yang terbukti memiliki resiliensi cukup kuat dalam menghadapi gejolak ekonomi, karena UMKM umumnya memiliki pangsa pasar lokal sehingga kinerjanya lebih stabil.

Dari skema pembiayaan, Amartha menggunakan skema tanggung renteng dalam menyalurkan permodalan. Peminjam diwajibkan untuk membentuk kelompok usaha dan bersedia menanggung risiko bersama. Hal-hal tersebut terbukti mampu mendukung Amartha dalam menjaga kualitas pinjaman dan mempertahankan performa keuangan yang sehat dan kuat.

Dia juga menjelaskan penyebab kredit macet umumnya, terjadi karena beberapa hal. Pertama, untuk di sektor pinjaman produktif, pemilik usaha mengalami kesulitan bayar yang disebabkan berbagai faktor, baik kondisi ekonomi secara umum maupun penurunan kinerja usaha.

"Kesalahan pengukuran risiko oleh teknologi, di Amartha, faktor ini dimitigasi dengan mengoptimalkan teknologi machine learning dan penggunaan AI, sehingga hasil pengukuran risiko lebih akurat," kata Aria. (Try)

BERITA TERKAIT