25 May 2023, 21:44 WIB

Ketidakpastian Global Membuat Dolar AS Menjadi Safe Haven


Fetry Wuryasti |

EKONOM Ryan Kiryanto sepakat dengan pernyataan Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo bahwa terjadi anomali dengan penguatan indeks dolar AS, DXY, justru di saat berbagai masalah sedang menyerang negara adidaya tersebut.

Dia menjelaskan dalam kondisi terjadi ekonomi Amerika yang jatuh, bahkan pada posisi resesi ringan, justru nilai dolar semakin kuat atau disebut fenomena strong USD. Sebab pada kondisi ketidakpastian global, pelaku pasar akan cenderung lebih merasa tenang bila memiliki dolar AS dan menjadikannya safe haven.

Sebab jika ekonomi Amerika pun melemah, termasuk bila hingga 1 Juni belum ada kesepakatan antara DPR dan Pemerintah AS untuk kenaikan rasio plafon utang (debt ceiling), maka secara teknis AS bisa disebut bangkrut.

Baca juga: Bank Indonesia Waspadai Anomali Dolar AS, Tahan BI Rate 5,75%

Tetapi secara pengalaman yang lalu, dimana situasi ini telah dialami AS selama 32 kali, plafon utang akan selalu dinaikkan, dengan catatan tertentu. Kemungkinan catatan itu berupa permintaan efisiensi, pemotongan anggara agar tidak boros belanja, yang salah satu pengeluaran terbesar AS adalah untuk biaya perang.

"Situasi ini menyebabkan global uncertainty. Pelaku pasar dan analis global selalu mempersepsikan jika situasinya tidak pasti seperti ini, maka mata uang yang paling aman di seluruh dunia adalah dolar AS. Maka saya setuju Gubernur BI mengatakan situasinya anomali," kata Ryan saat dihubungi, Kamis (25/5).

Baca juga: Jaga Stabilitas Nilai Tukar Rupiah, BI Kembali Tahan Suku Bunga Acuan

Teorinya, mata uang suatu negara mencerminkan fundamental ekonomi negara tersebut. Jika ekonomi negara tersebut memiliki fundamen yang bagus, pertumbuhan solid, angka pengangguran rendah, maka tercermin di harga mata uangnya. Ini berlaku di negara umumnya.

"Tetapi situasi abnormal saat ini, teori tersebut tidak berlaku. Amerika yang ekonominya sedang jelek, nilai dolar AS nya menguat terhadap hampir seluruh mata uang dunia," kata Ryan.

Alasan kedua, dunia memiliki lima mata uang terkuat, yaitu dolar AS, Poundsterling, Euro, Swiss Franc, dan Renminbi (RMB) China. Tetapi di dalam penggunaan transaksi internasional, porsi dolar AS mendominasi 50%-60% basisnya tetap dolar AS.

"Kodratnya dolar AS memang menjadi mata uang dunia, diakui berharganya di negara manapun. Saat ekonomi dunia tidak pasti, orang tidur nyenyak selama memiliki dolar AS. Makanya anomali terjadi, dolar AS sangat kuat di saat ekonomi AS sedang jelek," kata Ryan.

Indikasi resesi ringan di AS terjadi sejak 31 Desember 2022, antara lain hampir semua leading economy indicator AS melemah. Pertumbuhan ekonomi (PDB) AS secara kuartalan maupun tahunan tidak mengalami kontraksi, masih positif. Namun secara keseluruhan hampir semua kegiatan ekonomi AS melemah.

"BPS Amerika mengatakan negara itu sedang mengalami mild recession," kata Ryan.

Selanjutnya beberapa negara merencanakan penggunaan transaksi pembayaran non-dolar AS atau disebut dedolarisasi. Tetapi selama mata uang RMB hanya dipakai oleh China dan negara mitra, Poundsterling hanya berlaku di Inggris, Euro hanya berlaku di Eropa, maka sulit menandingi dolar AS.

Konsekuensi dolar AS menjadi mata uang dunia, yaitu setiap kali ada kebutuhan dolar AS dan jumlahnya kurang di pasar, maka bank sentral AS akan cetak uang.

Memang memungkinkan bagi mata uang non-dolar AS menggantikan posisi dolar AS, namun hanya berdasarkan kesepakatan bilateral antar dua negara melalui local currency settlement (LCS).

"Namun dengan negara yang tidak kerja sama LSC, transaksi kembali menggunakan dolar AS. Mata uang dunia yang berlaku yang dicatat di neraca atau rekening eksportir importir menggunakan dolar AS," kata Kiryanto. (Try/Z-7)

BERITA TERKAIT