PENERAPAN kebijakan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) industri dinilai perlu dilakukan secara selektif, alih-alih diperuntukkan bagi seluruh sektor. Itu diperlukan agar kebijakan tersebut tak menjadi sebab menurunnya produktivitas industri di Tanah Air.
Hal itu disampaikan peneliti departemen ekonomi dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Adinova Fauri dalam seminar bertajuk Kebijakan TKDN dan Arah Pembangunan Industri Nasional, Selasa (9/5).
"Kita menemukan adanya korelasi negatif dari share TKDN terhadap beberapa indikator performa yang kita gunakan dalam studi ini. Misal, pada indikator produktivitas perusahaan, output, penyerapan tenaga kerja, dan nilai tambah," ujarnya.
Baca juga : Luhut Lebih Setuju Produksi Kereta Dalam Negeri Daripada Impor KRL Bekas Jepang
Adinova menambahkan, hal itu terjadi karena objektif dari kebijakan TKDN di Indonesia belum jelas. Kesan yang timbul dan sering ditangkap ialah kebijakan itu semata untuk menurunkan tingkat impor ketimbang pengembangan industri domestik guna meningkatkan produktivitas dan daya saing.
Karena arah yang kurang jelas, implementasi kebijakan TKDN berpotensi menimbulkan konsekuensi lain yang dapat mengganggu tujuan kebijakan industri untuk meningkatkan daya saing dan produktivitas.
Baca juga : Di Tengah Ekonomi Global Tak Menentu, Justru Bisnis Waralaba Tumbuh
Pemetaan kebijakan TKDN saat ini juga dipandang cukup sporadis lantaran berlaku multisektoral. Padahal, kata Adinova, kebijakan TKDN amat bergantung pada adaptabilitas industri.
"Misal, visi untuk memproduksi sendiri alat kesehatan dengan teknologi tinggi, padahal Indonesia belum mampu memproduksi alat tersebut, itu salah satu contoh pentingnya ada pemetaan terlebih dahulu sebelum implementasi," jelasnya.
Peninjauan kebijakan TKDN juga dinilai kurang rasional. Pasalnya, indikator keberhasilan TKDN semata dilihat dari realisasi penurunan impor dan peningkatan jumlah sertifikasi TKDN industri. Mestinya, alat ukur keberhasilan dari kebijakan itu dilihat dari peningkatan daya saing, produktivitas, dan penyerapan tenaga kerja.
Adinova menyampaikan, penerapan TKDN juga perlu memiliki limitasi waktu, alih-alih diterapkan terus menerus. Ketika kebijakan tersebut tidak menunjukkan peningkatan daya saing dan produktivitas yang signifikan, maka pemerintah mestinya bisa mengeskplorasi kebijakan lain yang mendukung pengembangan industri.
Karenanya, CSIS merekomendasikan agar pemerintah selektif dalam memberlakukan kebijakan TKDN.
"Indikator ini perlu mencakup keunggulan komparatif dari industri tersebut, sehingga ketika ada industri yang memang bukan komparatif advantage di Indonesia, mungkin itu pada tahapan-tahapan yang lebih lanjut," jelas Adinova.
Selain itu pemerintah perlu membangun indikator penilaian yang jelas, transparan dan berbasis kinerja. CSIS menekankan agar kebijakan dibuat dengan tahapan-tahapan yang jelas, dan tiap tahapan perlu ada indiaktor berbasis performa seperti peningkatan nilai tambah, produktivtias dan perlu ada pengawasan secara langsung.
Di kesempatan yang sama, Ketua Tim Penerapan Fungsional Analis Ahli Madya Unit Kerja Pusat P3DN Kementerian Perindustrian Mahardi Tunggul Wicaksono mengatakan, studi yang dilakukan CSIS akan menjadi bahan pertimbangan bagi pemerintah dalam membuat kebijakan, utamanya terkait TKDN.
Dia menyatakan, kebijakan penghitungan TKDN yang berlaku saat ini mengacu pada Peraturan Menteri Perindustrian yang dibuat pada 2011. Karenya pembaruan pengaturan diperlukan.
"Kajian CSIS ini akan menjadi masukan berarti untuk pengambil kebijakan, utamanya kami di Kemenperin dalam kami mencoba melakukan revisi terhadap permenperin terkait penghitungan TKDN," ujarnya.
"TKDN juga perlu dibuat secara selektif. Kami di Kemenperin saat ini sedang menyusun road map P3DN. Jadi nanti di dalam road map itu, TKDN akan dibuat lebih selektif, bertahap, tiga tahun, lima tahun ke depan, akan seperti apa TKDN-nya, seperti apa peningkatannya, akan di mana komponen-komponen TKDN-nya, itu akan kita susun di dalam road map P3DN itu," lanjut Mahardi.
Sementara itu, penasihat senior dari Prospera Achmad Shauki menilai sejatinya tak ada yang salah dengan kebijakan TKDN. Sebab, semua negara menginginkan agar negaranya mampu memproduksi barang yang dibutuhkan. Hanya, itu tergantung pada pilihan yang diambil dalam menerapkan kebijakan tersebut.
"Kesalahan kita itu adalah memilihnya berdasarkan teknologinya, bukan berdasarkan daya saing kita," jelasnya.
Menurutnya itu tergambar jelas pada perbedaan daya saing antara Indonesia dan Vietnam di sektor Teknologi, Informasi, dan Komunikasi (TIK). Indonesia menuntut agar perusahaan-perusahaan TIK memanfaatkan teknologi tinggi, alih-alih mengembangkan daya saing dari produk unggulan.
Hasilnya dalam 10 tahun terakhir Indonesia justru tertinggal dan kalah saing dengan Vietnam dalam perkembangan industri di sektor TIK.
Senada, Kepala Perwakilan Indonesia untuk US-ASEAN Business Council Taufikurrahman menyatakan, dari kacamata pebisnis, kebijakan TKDN mestinya tak melulu ditujukan untuk mengurangi impor. Apalagi pengurangan impor dilakukan terhadap produk yang belum bisa dihasilkan oleh industri di Indonesia.
"Seandainya ada pembatasan flow of goods, impor dibatasi, semata-mata hanya membatasi, tapi tidak memperhatikan mana yang urgen, prioritas, tanpa mapping, maka akibatnya produktivitas jadi menurun," terangnya.
"Jika arus barang dibatasi tanpa memperhatikan ketersediaan di dalam negeri. Ujung-ujungnya kita impor juga dan itu akhrinya meningkatkan biaya produksi dan akhirnya harga barang akan menjadi lebih mahal lagi dan masyarakat tidak mampu membeli barang berkualitas karena harganya mahal," pungkas Taufikurrahman. (Z-5)