SILICON Valley Bank (SVB), dinyatakan bangkrut hanya dalam waktu 48 jam, Jumat (10/3). Dampak bank yang telah berdiri selama 40 tahun itu, dipastikan minor terhadap perbankan tanah air.
“Dampaknya terhadap sektor perbankan Indonesia perkiraan saya minor, atau tidak berdampak. Paling tekanan sementara pada harga saham-saham perbankan. Sementara bank-bank besar yang akan melakukan RUPS Tahunan mencatatkan kinerja yang luar biasa," kata Mantan Dirut BEI Hasan Zein Mahmud, Senin (13/3).
Menurut dia, dari kasus ini justru bank besar Indonesia memiliki peluang positif terhadap kebijakan kenaikan tingkat bunga. Terutama yang berbiaya relatif rendah, baik karena produk yang terdiversifikasi, teknologi yang unggul dan basis penyimpan yang tersebar luas.
Baca juga: Simpanan Nasabah Silicon Valley Belum Terjamin
"Kasus Silicon Valley mengokohkan kembali peran bank konvensional di atas bank digital yang masih harus membuktikan keunggulannya. Terutama keunggulan ekonomi,” ungkap Hasan.
Menurut Hasan, runtuhnya Silicon Valley ini sedikit banyak juga akan melunakkan sikap pengetatan suku bunga The Fed. Paling tidak dalam pertemuan Federal Open Market Committee (FOMC) pada 22 maret mendatang.
Baca juga: Biden Sebut Sistem Perbankan AS Aman Usai Penutupan Silicon Valley Bank
Adapun, kata Hasan, jatuhnya sebuah bank selalu punya potensi menebar pandemi di sektor keuangan. Signature Bank of New York menyusul rontok dua hari kemudian. Indeks harga saham global menyelam berbarengan, pada tutup pasar, minggu lalu.
Meskipun, pada akhirnya Federal Deposit Insurance Corporation (FDIC ) menjamin keamanan dana nasabah. Namun sesuai dengan aturan FDIC sendiri, jaminan hanya diberikan pada simpanan sampai dengan nilai USD250 ribu.
Sedangkan, hampir 90% deposan di SIlicon Valley memiliki saldo di atas itu. Artinya kelebihannya tidak dijamin oleh asuransi.
Seperti yang diketahui, bank yang fokus membiayai perusahaan rintisan dan modal ventura ini, mengalami kesulitan likuiditas. Ini terjadi lantaran seretnya arus kas masuk dari investasinya di start-up dan venture capital.
Untuk menutup gap, Silicon Valley terpaksa menjual treasuries (obligasi pemerintah) dan mortgage backed securities. Padahal saat itu, harganya sedang jatuh akibat tingginya tingkat bunga. Ini mengakibatkan Silicon Valley merugi.
Bank terbesar ke 16 di AS ini, Silicon Valley, coba bertahan dengan melakukan penawaran umum saham baru. Tapi para deposan yang mengetahui kerugian dalam neraca Silicon Valley keburu melakukan penarikan uang karena panik (Rush). Dalam kasus ini, tidak ada satu bank pun mampu bertahan apabila mayoritas pemilik dana menarik dananya. (Z-10)