INDONESIA masih dapat menikmati keuntungan dari ledakan komoditas (boom commodity) hingga triwulan pertama 2023. Dampak resesi dunia pada kinerja perdagangan baru akan dirasakan mulai triwulan kedua tahun ini dan itu mesti bisa diantisipasi oleh pemerintah.
Demikian disampaikan Rektor Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Agustinus Prasetyantoko dalam forum Denpasar 12 bertajuk Prospek Ekonomi Indonesia 2023 secara daring, Rabu (11/1). "Tekanan akan muncul di triwulan kedua dan berikutnya ketika negara-negara utama itu (ekonominya) tumbuh sangat rendah," ujarnya.
"Tentu saja demand komoditas akan turun. Maka pendapatan kita dari ekspor juga akan turun di triwulan II tahun ini dan itu akan menekan perekonomian kita," tambahnya.
Alhasil, kata Prasetyantoko, pertumbuhan ekonomi Indonesia diprediksi akan sedikit mengalami koreksi di tahun ini. Proyeksi pertumbuhan ekonomi yang sebelumnya banyak disebutkan akan berada di kisaran 5%, lanjutnya, kemungkinan hanya akan bertengger di angka 4,8%.
Itu sekaligus menjadi tanda bahwa Indonesia tak luput dari dampak resesi ekonomi global. Namun, itu juga bukan berarti ekonomi Indonesia dalam zona merah, alias parah. Dampak pemburukan ekonomi dunia dinilai bersifat minor ke dalam negeri.
"Jadi, ada pelambatan tapi tidak terlalu buruk. Jadi dampak resesi global itu dampaknya marjinal pada ekonomi Indonesia. Itu satu tantangan yang harus kita jawab," kata Prasetyantoko.
Dampak pemburukan yang kecil itu karena ekonomi Indonesia tak bergantung pada sektor perdagangan. Kontribusi dagang pada perekonomian nasional secara umum hanya berkisar 22% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
Mesin utama yang dapat menggerakkan ekonomi Indonesia ialah konsumsi masyarakat yang berkontribusi sekitar 56% terhadap PDB. Karenanya, Prasetyantoko menilai upaya yang diambil pemerintah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi domestik patut diapresiasi.
Salah satu langkah antisipasi yang menurutnya telah diambil ialah melalui pencabutan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM). Itu dianggap dapat memberi suntikan terhadap peningkatan mobilitas penduduk dan berujung pada naiknya aktivitas perekonomian.
"Dengan pencabutan PPKM ini, mobilitas masyarakat akan kembali tinggi, sehingga kalau pun ada koreksi pada pertumbuhan ekonomi Indonesia, itu tidak akan jauh dari angka 5%," jelas Prasetyantoko.
Selain itu, dorongan hilirisasi industri yang dilakukan pemerintah juga dianggap dapat membawa pertumbuhan ekonomi nasional kian menguat. Sebab, Indonesia akan memperoleh nilai tambah, alih-alih hanya menikmati hasil ekspor barang mentah.
Tahun ini, lanjut Prasetyantoko, mesti menjadi momentum bagi Indonesia untuk melakukan reindustrialisasi. Fokus kebijakan dan dorongan perlu diberikan kepada industri agar mampu menyokong pertumbuhan ekonomi dalam negeri ke depan.
"Dalam situasi yang berubah ini, kita harus mencari jalan keluar, dengan cara membangun kembali basis industri yang merupakan fase yang harus diakui agak menurun sejak krisis 98 lalu. Ini momentum untuk reindustrialisasi," tuturnya.
Dampak minor dari resesi ekonomi dunia terhadap perekonomian nasional juga diamini oleh ekonom BCA David Sumual. Sebab, keterbukaan ekonomi Indonesia hanya sekitar 13%, jauh lebih rendah dari negara tetangga seperti Malaysia yang sebesar 59% dan Thailand 46%.
Dus, melambatnya kinerja dagang diyakini tak akan serta merta membawa kemerosotan perekonomian dalam negeri. Apalagi fundamen perekonomian Indonesia dinilai cukup kokoh, setidaknya hingga akhir 2022.
"Untuk 2023 ini saya masih anggap ini adalah masih masa pemulihan, kalau melambat itu pun karena global. Kita perlu membentengi ekonomi domestik dengan berbagai kebijakan dan fundamental perekonomian yang ada," kata David.
Dia juga menilai perlunya dukungan pemerintah, baik dari sisi fiskal maupun non fiskal untuk industri dalam negeri agar bisa meningkatkan produktivitasnya. Sebab, menurutnya, itu nantinya akan mengerek tingkat investasi di Indonesia.
Pasalnya, perusahaan atau industri di Indonesia sejauh ini berada dalam kondisi yang cukup baik. Dari sekitar 800 perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI), misalnya, tercatat banyak yang telah mengalami peningkatan omzet hingga 28%.
Namun peningkatan omzet itu belum diikuti dengan peningkatan belanja modal (capital expenditure/capex). Pertumbuhan capex dari 800 perusahaan yang melantai di bursa tercatat hanya 8,8%.
"Mereka terlihat masih wait and see dan ini nyata. Mereka ragu untuk ekspansi karena banyak berita negatif. Dari sisi korporasi, mereka juga lebih berhati-hati, fokus ke balance sheet, mereka cenderung konservsatif, lebih cenderung melunasi kredit. Padahal gross revenue mereka sudah mulai pulih," pungkas David. (OL-8)