10 January 2023, 09:29 WIB

Suku Bunga The Fed Masih akan Naik, Namun Lebih Terbatas


Fetry Wuryasti |

DUA pejabat bank sentral AS The Fed mengatakan bahwa The Fed masih akan menaikkan tingkat suku bunga hingga di atas 5%, sebelum pada akhirnya menghentikan kenaikan dan menahannya untuk beberapa waktu.

Hal ini semakin menguatkan cerita mengenai pejabat The Fed yang mengatakan bahwa kenaikan tingkat suku bunga akan berada di 5,4%, jauh lebih tinggi dari target yang telah disampaikan oleh Gubernur The Fed Jerome Powell.

Raphael Bostik, Presiden The Fed Atlanta, mengatakan The Fed harus mempertahankan tekad untuk menaikkan tingkat suku bunga.

Alasannya, The Fed memiliki komitmen untuk mengatasi inflasi yang tinggi dan menjamin kenaikan tingkat suku bunga di kisaran 5% - 5,25% untuk menekan kelebihan permintaan yang keluar dari perekonomian.

"Ada potensi yang cukup besar bagi The Fed untuk menaikkan tingkat suku bunga sebanyak 25 bps pada pertemuan berikutnya, selama data inflasi di Amerika yang akan keluar pada lusa mengalami penurunan," kata Associate Director of Research and Investment Pilarmas Investindo Sekuritas Indonesia Maximilianus Nico Demus, Selasa (10/1).

Baca juga: Dolar AS Kembali Turun akibat Risalah The Fed tak Sesuai Harapan

Sejauh ini secara proyeksi, inflasi di Amerika secara antar tahunan (yoy) masih berada di 7,1% dan akan mengalami penurunan hingga 6,5%.

"Ini sejalan dengan proyeksi kami dalam market outlook kami. Dengan penurunan inflasi, kenaikan tingkat suku bunga pun menjadi jauh lebih terbatas," kata Nico.

Presiden The Fed yang lain, Mary Daly, dari San Fransisco mengatakan dirinya juga mengharapkan The Fed masih akan menaikkan tingkat suku bunga hingga 5%, meskipun Mary tidak menjelaskan seberapa jauh titik akhir dari kenaikan tingkat suku bunga.

Menurut Mary, hal tersebut akan bergantung dengan data yang masuk, khususnya inflasi. Namun sayangnya, kedua Presiden Fed itu tidak memiliki hak suara dalam memutuskan kebijakan pada tahun 2023.

Tampaknya para pejabat The Fed ingin secepatnya mengejar pertemuan titik antara tingkat suku bunga The Fed dengan inflasi, oleh karena itu The Fed ingin tetap menaikkan tingkat suku bunga, agar mendorong inflasi dapat turun lebih cepat.

Raphael menambahkan bahwa tingkat suku bunga yang berada di atas 5%, akan berada untuk waktu yang cukup lama, karena The Fed tampaknya ingin kebijakan tersebut bekerja mempengaruhi inflasi.

"Harapannya adalah bahwa inflasi cepat turun, dan kenaikan tingkat suku bunga mulai terbatas," kata Nico.

Pada saat ini, situasi dan kondisi terkait dengan pengurangan tenaga kerja di Amerika tampaknya mulai terlihat. Goldman Sachs Group Inc, akan mulai melakukan pengurangan tenaga kerja sebanyak hampir 3.200 pekerja pada pekan ini.

Lebih dari 1/3 pengurangan diperkirakan akan berada dari unit perdagangan dan perbankan. Peranan non office bagi perbankan akan tetap berjalan dalam proses perekrutan.

Hal ini memberikan gambaran bahwa perusahaan mulai melakukan rotasi dan adaptasi dari sisi manajemen mereka untuk menghadapi situasi dan kondisi yang penuh dengan ketidakpastian.

Goldman Sachs mulai mengalami perlambatan dari berbagai sisi lini bisnis yang mendorong perbankan untuk menekan biaya mereka. Alhasil, Goldman saat ini tengah menghadapi penurunan laba sebesar 46%, dengan pendapatan sekitar USD48 miliar.

Dari sisi perdagangan, masih dalam keadaan yang positif, sehingga diharapkan dapat mengalami kenaikan sekitar 14% pada tahun 2022.

Di tengah keadaan Amerika yang tidak pasti, masih ada peluang optimisme dari indeks saham Asia yang tampaknya mulai memasuki tren kenaikan.

Ini terjadi setelah perekonomian Tiongkok dibuka kembali, yang mendorong optimisme dan keyakinan masuk dalam persepsi pelaku pasar dan investor. Meski tidak boleh dilupakan bahwa ekonomi Tiongkok belum pulih sepenuhnya.

Indeks MSCI Asia Pacific naik 1,9% pada hari Senin, dari level terendahnya pada bulan Oktober. Tahun ini diperkirakan akan menjadi tahun yang baik untuk pasar Asia, setelah tahun 2022 penuh dengan ketidakpastian.

Saat ini pasar saham Tiongkok merupakan pemiliki bobot terbesar setelah Jepang. Sejauh ini saham-saham di Tiongkok telah mengawali tahun dengan baik, meskipun kehati-hatian secara volatilitas masih akan tinggi karena Covid-19 masih terus terjadi setelah dicabutnya kebijakan Zero Covid.

"Tiongkok juga akan mengalami situasi dan kondisi yang sulit, sebelum semua membaik khususnya setelah Covid-19 dapat teratasi. Dengan begitu, daya beli dan konsumsi akan kembali meningkat, namun yang terpenting rasa percaya pasar kembali pulih," kata Nico. (Try/OL-09)

BERITA TERKAIT