05 December 2022, 13:33 WIB

BI Memprediksi Ketidakpastian Ekonomi Global Mereda di Q1 2023


M. Ilham Ramadhan Avisena |

BANK Indonesia (BI) meyakini ketidakpastian global akan mulai mereda di triwulan I 2023. Ini dinilai bakal terjadi berdasarkan pengamatan bank sentral atas situasi dan kondisi terkini.

"Global bergejolak tapi bisa kita takar skenarionya, baik pertumbuhan global, inflasi, penguatan dolar, suku bunga dan fenomena cash is the king. Tingkat ketidakpastian akan mereda setelah triwulan I 2023," ujar Gubernur BI Perry Warjiyo dalam Seminar Proyeksi Ekonomi Indonesia: Mengelola Ketidakpastian Ekonomi di Tahun Politik, Senin (5/12).

Pengamatan BI dilakukan dengan mengidentifikasi persoalan yang terjadi saat ini dan memetakan probabilitas dampaknya bagi Indonesia. Setidaknya, ada tiga skenario yang didapati oleh bank sentral, yakni skenario probabilitas Indonesia terimbas 75% dari ekonomi global, terimbas 50%-75% dari ekonomi global, dan terimbas 50% dari ekonomi global.

Bacaan ketidakpastian global bakal mereda pascatriwulan I 2023 merupakan hitungan yang ada di dalam skenario upward risk, atau probabilitas Indonesia terimbas ekonomi global di kisaran 50%-75%. BI, kata Perry, menilai puncak dari kenaikan suku bunga acuan The Federal Reserve (The Fed) akan menjadi titik awalnya.

BI menilai suku bunga acuan The Fed atau Fed Funds Rate (FFR) akan mencapai puncaknya di level 5% pada triwulan I 2023 dalam skenario tersebut. Level FFR tersebut bakal memompa penguatan dolar Amerika Serikat yang telah terjadi.

Baca juga: Resesi Dunia Dinilai Bisa Jadi Peluang bagi Indonesia

"Ini juga menunjukkan strong dollar yang ke depan masih akan kuat, tergantung tingginya inflasi, FFR, dan bagaimana Fed menimbang kenaikan suku bunga dan resesi. Strong dolar akan berlanjut dan memberikan tekanan pada mata uang seluruh dunia, termasuk rupiah," jelas Perry.

Tingginya FFR dan menguatnya indeks dolar bakal menggiring investor global untuk menempatkan uangnya di pasar Negeri Paman Sam. Namun di lain sisi, kondisi tersebut juga akan mendorong terjadi fenomena investor untuk memegang uang dalam bentuk tunai lantaran dinilai sebagai aset yang aman. Kondisi tersebut dikenal dengan istilah cash is the king.

"Ketidakpastian global yang tinggi menyebabkan investor mengalihkan dananya ke alat likuid yang mendekati cash, sehingga cash is the king. Ini akan mengikuti pola FFR. Kalau FFR puncaknya pada triwulan I, cash the king akan terjadi," tambah Perry.

Karena itu, penyusunan skenario dianggap menjadi penting. Sebab, dengan begitu bank sentral dapat memitigasi langkah kebijakan moneter yang dapat ditempuh. Namun dari tiga skenario itu, mustahil bagi BI bergerak dan berupaya sendiri. Sinergi dan koordinasi dibutuhkan untuk bisa mengatasi tantangan yang berpotensi muncul.

"Ini tidak hanya dari kewenangan kita (BI), tapi bagaimana kita bersinergi antar lembaga. Koordinasi pemerintah dan BI yang selama ini kuat, dengan KSSK (Komite Stabilitas Sistem Keuangan), perbankan, pemangku bisnis, dan akademisi terus dilakukan," jelas Perry. (OL-4)

BERITA TERKAIT