25 November 2022, 09:25 WIB

Pelaku IHT Minta Pemerintah Tunda Penaikan Cukai 2023-2024


Mediaindonesia.com |

PARA pelaku industri hasil tembakau (IHT) di Tanah Air yang tergabung dalam berbagai organisasi seperti Gaprindo (Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia) dan Formasi (Forum Masyarakat Industri Rokok Seluruh Indonesia) meminta pemerintah meninjau kembali kebijakan kenaikan cukai rokok pada 2023 dan 2024 rata-rata sebesar 10% lebih. Selain kondisi ekonomi masyarakat masih sangat berat sebagai dampak dari kenaikan bahan bakar minyak (BBM) dan pendemi covid-19 yang belum reda juga, mereka beralasan saat ini sudah masuk resesi ekonomi dunia akibat situasi politik global yang terus memanas. Sementara masa depan perekonomian di Tanah Air dan dunia juga masih dilanda ketidakpastian.

Dalam situasi seperti ini, seharusnya ada kelonggaran dari pemerintah, bukan justru semakin dipersulit dengan kenaikan cukai. Sekiranya pemerintah sedang membutuhkan dana untuk pembangunan, sehingga harus menaikkan cukai, penaikannya tidak lebih dari 7%. Selain itu, penaikan cukai juga harus diikuti pemberantasan rokok ilegal.

Hal tersebut disampaikan Ketua Gaprindo, Benny Wahyudi, dan Ketua Formasi, Heri Susianto, dalam keterangan tertulis, Jumat (25/11). "Saat ini situasinya berat dengan berbagai penaikan biaya di industri. Situasi ini sangat beda dari yang normal. Jadi situasinya sangat tidak normal. Pandemi pun belum selesai, masih ada saja kasus baru (terinfeksi covid-19) 6.000-7.000 kasus. Saya benar-benar tidak tahu, apakah memang IHT sudah tidak diperhatikan (pemerintah)? Yang jelas, kalau tidak diperhatikan, kontribusi IHT kepada perekonomian  atau penerimaan negara itu kan lebih dari 10%. Cukainya saja tahun ini diperkirakan lebih dari Rp200 triliun," tegas Benny Wahyudi.

Hal yang sama disampaikan Ketua Formasi Heri Susianto. Menurutnya, kebutuhan pemasukan negara ini sangat luar biasa. Pada 2022 target cukai rokok itu sekitar Rp203 triliun. Penaikan cukai rokok memang untuk memenuhi kebutuhan keuangan negara sehingga lima tahun terakhir ini penaikan cukai rokok langsung diputuskan Presiden. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), menurut Heri Susianto, sudah mengajukan penaikan cukai rokok di angka 7%. Namun keputusan tetap di tangan presiden sehingga pemerintah tetap menaikkan cukai di angka 10% lebih. Untuk SKM, misalnya golongan 2, naik 17,5% dan SKT penaikannya hanya 5%.

Menurut Heri Susianto, alasan yang dikemukakan Menterian Keuangan atas penaikan cukai rokok sangat tidak masuk akal. Alasannya yakni  penaikan cukai rokok karena fokus pemerintah terhadap prevalensi merokok yang turun menjadi 8% dari sebelumnya 9%. Padahal prevalensi merokok sangat dipengaruhi oleh preferensi dan perpindahan atas pilihan rokok ke golongan layer yang lebih murah, terlebih lagi rokok polos atau ilegal atau tanpa cukai. "Oleh karena itu ucapan Ibu Sri Mulyani terkait melindungi prevalensi merokok menurut saya tidaklah tepat karena maraknya peredaran rokok ilegal menjadikan para perokok, baik yang pemula maupun perokok aktif, beralih dari rokok legal ke rokok tanpa cukai ini tidak terdeteksi jumlahnya oleh pemerintah. Terlebih lagi masifnya peredaran rokok ilegal pemerintah tidak mendapatkan pemasukan berupa cukai yang jelas jelas sangat merugikan negara," tegas Heri.

Bagi Gaprindo, imbuh Benny, penaikan cukai rokok tahun ini terlalu tinggi. Penaikan ini sudah dari tahun ke tahun selalu tinggi. Ini mengakibatkan produksi kita menurun. Dengan kebijakan penaikan cukai rokok di atas 10% yang kembali akan diberlakukan pemerintah di 2023 dan 2024, kemungkinan besar akan semakin menurunkan jumlah produksi rokok putih. Jika dilihat produksi dari 2017, year on year Oktober 2017, kira-kira jumlahnya mencapai 17,4 miliar batang. Saat ini pada 2022 year on year, tinggal 10,4 miliar batang. Dalam waktu  lima tahun penurunan jumlah produksi mencapai 7 miliar. Karena itu, kebijakan pemerintah menaikkan cukai rokok, kemungkinan besar akan kembali menurunkan jumlah produksi rokok putih.

"Penaikan cukai rokok pengaruhnya sangat berat bagi kami. Kami mengalami kemunduran dari segi produksi. Mungkin di tahun depan juga turun antara 8%-9% lagi. Jelas (Kenaikan cukai rokok) itu berdampak (pada penurunan produksi dan penjualan). Kalau tahun sebelumnya di tahun 2017 masih 17 milyar. Kalau tahun ini dengan pemberian cukai kesatu saja itu  kira-kira penjualannya hanya 10,4 miliar. Jadi jelas ada penurunan penjualannya,” papar Ketua Gaprindo Beny Wahyudi.

Benny menjelaskan, menurut informasi yang diterima pihaknya, penaikan cukai rokok pada 2023 bagi sigaret putih mesin (SPM) paling tinggi, bahkan lebih tinggi dari sigaret kretek tangan (SKT). Padahal pangsa pasar SPM terus mengalami penurunan. "Sayangnya kita  (Gaprindo) belum punya (menerima) PMK (peraturan menteri keuangan) itu sehingga kami dapat lihat dan bandingkan dengan sigaret kretek tangan atau sigaret kretek mesin," keluhnya. 

Ia pun membantah pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani yang menyebutkan penaikan cukai rokok dua tahun ke depan secara berturut-turut tidak akan berakibat pada pemutusan hubungan kerja (PHK) karyawan di lingkungan IHT. Menurutnya, kemungkinan pengurangan pegawai atau PHK akibat kenaikan cukai rokok di dua tahun berturut-turut tidak tertutup dilakukan IHT. "Pengurangan pegawai mungkin saja bisa terjadi, namanya juga efisiensi. Karena pasti pendapatan menurun, pasti akan ada efisiensi. Seberapa besar dan di level mana saya juga kurang paham. Yang jelas kalau pengurangan itu bisa saja, misalnya mengurangi sif kerja dari 3 sif menjadi 2 sif, karena memang yang dijual tidak ada," papar Benny.

Hal senada disampaikan Heri. Menurutnya, anggotanya tidak menutup kemungkinan PHK karyawan demi melakukan efisiensi akibat kenaikan cukai rokok yang terus menerus. 

Selain pengurangan pegawai, pihak industri rokok juga dipastikan akan mengurangi pembelian tembakau dari para petani. Hal ini karena pihak produsen rokok juga mengurangi produksi rokoknya. Pengurangan produksi rokok disebabkan penurunan penjualan rokok. Penjualan rokok menurun karena harganya meningkat. Peningkatan harga disebabkan karena cukai yang dikenakan pemerintah semakin tinggi. "Otomatis pembelian bahan baku (tembakau dari petani) juga jadi berkurang, karena (rokok) yang dijual juga kurang. Berapa persen besar penurunan pembelian bahan baku? Biasanya besarnya proporsional dengan produksinya. Kalau kami rata-ratakan penurunan dari 2017 sampai 2022 minus terus 9,79%," ulas Benny.

Agar tidak terjadi pengurangan pegawai dan pembelian tembakau dari para petani, ia berharap pemerintah memberikan kemudahan sekaligus memfasilitasi untuk program dan proses ekspor produk rokok  ke berbagai negara. Dengan ekspor, industri hasil tembakau di Tanah Air masih bisa bertahan. (OL-14)

BERITA TERKAIT