DALAM bisnis, Anda mungkin mengalami konflik atau masalah. Biasanya masalah-masalah tersebut berhubungan dengan klausal perjanjian, isi perjanjian, atau hal lain yang memengaruhi perjalanan bisnis sesuai dengan kesepakatan awal. Untuk menyelesaikan masalah tersebut, Anda dapat menggunakan cara artbitrase.
Dilansir dari laman Kementerian Keuangan, arbitrase adalah perjanjian perdata yang dibuat berdasarkan kesepakatan para pihak untuk menyelesaikan sengketa mereka yang diputuskan oleh pihak ketiga yang disebut arbiter yang ditunjuk secara bersama-sama oleh para pihak yang bersengketa dan para pihak menyatakan akan menaati putusan yang diambil oleh arbiter. Berdasarkan Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa di luar peradilan umum yang berdasarkan pada perjanjian arbitrase secara tertulis oleh para para pihak yang bersengketa.
Beberapa dasar hukum arbitrase
1. Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 menentukan bahwa semua peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut UUD ini. Demikian pula HIR yang diundang pada zaman Kolonial Hindia Belanda masih tetap berlaku, karena hingga saat ini belum diadakan pengantinya sesuai dengan Peraturan Peralihan UUD 1945 tersebut.
2. Pasal 377 HIR Ketentuan mengenai arbitrase dalam HIR tercantum dalam Pasal 377 HIR atau Pasal 705 RBG yang menyatakan bahwa jika orang Indonesia atau orang timur asing menghendaki perselisihan mereka diputus oleh juru pisah atau arbitrase, mereka wajib memenuhi peraturan pengadilan yang berlaku bagi orang Eropa. Sebagaimana dijelaskan di atas, peraturan pengadilan yang berlaku bagi bangsa Eropa yang dimaksud Pasal 377 HIR ini ialah semua ketentuan tentang acara perdata yang diatur dalam RV.
3. Pasal 615 s/d 651 RV Peraturan mengenai arbitrase dalam RV tercantum dalam Buku ke Tiga Bab Pertama Pasal 615 s/d 651 RV, yang meliputi:
a. Persetujuan arbitrase dan pengangkatan para arbiter (Pasal 615 s/d 623 RV).
b. Pemeriksaan di muka arbitrase (Pasal 631 s/d 674 RV).
c. Putusan Arbitrase (Pasal 631 s/d 674 RV).
d. Upaya-upaya terhadap putusan arbitrase (Pasal 641 s/d 674 RV).
e. Berakhirnya acara arbitrase (Pasal 648-651 RV).
4. Penjelasan Pasal 3 ayat 1 UU Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman setelah Indonesia merdeka memuat pengaturan lembaga arbitrase dapat kita temukan dalam memori penjelasan Pasal 3 ayat 1 UU Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan penyelesaian perkara di luar pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui wasit atau arbitrase tetap diperbolehkan.
5. Pasal 80 UU Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung satu-satunya undang-undang tentang Mahkamah Agung yang berlaku di Indonesia sama sekali tidak mengatur mengenai arbitrase. Ketentuan peralihan yang termuat dalam Pasal 80 UU Nomor 14 Tahun 1985 menentukan bahwa semua peraturan pelaksana yang telah ada mengenai Mahkamah Agung dinyatakan tetap berlaku sepanjang peraturan tersebut tidak bertentangan dengan Undang-Undang Mahkamah Agung ini. Dalam hal ini kita perlu merujuk kembali UU Nomor 1 Tahun 1950 tentang Susunan Kekuasaan dan Jalan Pengadilan Mahkamah Agung Indonesia. UU Nomor 1 Tahun 1950 menunjuk Mahkamah Agung sebagai pengadilan yang memutus dalam tingkat yang kedua atas putusan arbitrase mengenai sengketa yang melibatkan sejumlah uang lebih dari Rp25.000 (Pasal 15 jo. Pasal 108 UU Nomor 1 Tahun 1950).
6. Pasal 22 ayat 2 dan 3 UU Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing dalam hal ini Pasal 22 ayat 2 UU Nomor 1 Tahun 1967 menyatakan jikalau di antara kedua belah pihak tercapai persetujuan mengenai jumlah, macam, dan cara pembayaran kompensasi tersebut, akan diadakan arbitrase yang putusannya mengikat kedua belah pihak. Pasal 22 ayat 3 UU Nomor 1 Tahun 1967 menyatakan badan arbitrase terdiri atas tiga orang yang dipilih oleh pemerintah dan pemilik modal masing-masing satu orang dan orang ketiga sebagai ketuanya dipilih bersama-sama oleh pemerintah dan pemilik modal.
UU Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing kemudian dicabut dan digantikan dengan UU Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Pada Pasal 32 menyatakan:
• Dalam hal terjadi sengketa di bidang penanaman modal antara pemerintah dengan penanaman modal, para pihak terlebih dahulu menyelesaikan sengketa tersebut melalui musyawarah dan mufakat.
• Dalam hal penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat 1 tidak tercapai, penyelesaian sengketa tersebut dapat dilakukan melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa atau pengadilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
• Dalam hal terjadi sengketa di bidang penanaman modal antara pemerintah dengan penanaman modal dalam negeri, para pihak dapat menyelesaikan sengketa melalui arbitrase tidak disepakati, penyelesaian sengketa tersebut melalui arbitrase berdasarkan kesepakatan para pihak, dan jika penyelesaian sengketa tersebut akan dilakukan di pengadilan.
• Dalam hal terjadi sengketa di bidang penanaman modal antara pemerintah dengan penanaman modal asing, para pihak akan menyelesaikan sengketa tersebut melalui arbitrase internasional yang harus disepakati oleh para pihak.
7. UU Nomor 5 Tahun 1968 tentang Pengesahan Persetujuan Atas Konvensi tentang Penyelesaian Perselisihan Antara Negara dan Warga Asing Mengenai Penanaman Modal atau sebagai ratifikasi atas International Convention On the Settlement of Investment Disputes Between States and Nationals of Other States Dengan undang-undang ini dinyatakan bahwa pemerintah mempunyai wewenang untuk memberikan persetujuan agar suatu perselisihan mengenai penanaman modal asing diputus oleh International Centre for the Settlement of Investment Disputes (ICSD) di Washington.
8. Keppres Nomor 34 Tahun 1981 Pemerintah Indonesia telah mengesahkan Convention On the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards disingkat New York Convention (1958), yaitu Konvensi Tentang Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan Arbitrase Luar Negeri yang diadakan pada 10 Juni 1958 di New York dan diprakarsai oleh PBB.
9. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1990. Selanjutnya dengan pengesahan Konvensi New York dengan Keppres Nomor 34 Tahun 1958, Mahkamah Agung mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 Tahun 1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing, pada 1 Maret 1990 yang berlaku sejak tanggal dikeluarkan.
Prosedur arbitrase
1. Pendaftaran.
Pendaftaran diajukan kepada sekretariat lembaga arbitrase yang dipilih para pihak.
2. Permohonan mengadakan arbitrase.
Permohonan disertai informasi berupa nama dan alamat para pihak, perjanjian arbitrase antara pihak yang bersengketa, fakta-fakta dan dasar hukum kasus arbitrase, rincian permasalahan, dan tuntutan atau nilai tuntutan.
3. Dokumen.
Harus melampirkan salinan autentik terkait dengan sengketa yang bersangkutan dan salinan autentik perjanjian arbitrase dan dokumen lain yang relevan.
4. Penunjukan arbiter.
Seorang arbiter akan ditunjuk sebagai pihak ketiga yang netral paling lambat 30 hari terhitung sejak permohonan didaftarkan dan ketua lembaga arbitrase berwenang atas permohonan untuk memperpanjang waktu penunjukan arbiter dengan alasan-alasan yang sah tidak melebihi 14 (hari).
5. Biaya arbitrase.
Pembayaran harus dilakukan untuk biaya pendaftaran. Biaya pendaftaran dibayarkan saat melakukan permohonan sebesar Rp2 juta. Sementara untuk biaya administrasi lebih beragam tergantung besar tuntutan.
Contoh kasus penyelesaian arbitrase
Pada 2011, mantan Wakil Komisaris Utama Bank Century Hesham menuntut pemerintah karena karena tindakan ekspropriasi atas saham di bank tersebut. Ia meminta ganti rugi senilai US$19,8 juta. Alih-alih memperoleh ganti rugi, ICSID justru menolak gugatan Hesham terkait tindakan ekspropriasi. Dengan demikian, kemenangan Indonesia pada dua kasus Bank Century tersebut membuat pemerintah terhindar dari kewajiban membayar biaya sekitar US$100 juta atau setara dengan Rp1,3 triliun. (OL-14)