BANK Indonesia (BI) menyebut pelemahan rupiah yang terjadi belakangan ini bukan karena faktor fundamen. Depresiasi mata uang itu disebabkan oleh faktor global serta penguatan dolar Amerika Serikat yang bahkan sempat menyentuh level tertingginya.
"Tekanan rupiah bukan karena faktor fundamen, tapi karena kondisi global. BI akan terus menjaga stabilitas rupiah," ungkap Gubernur BI Perry Warjiyo dalam konferensi pers, Kamis (20/10).
Diketahui, pada pembukaan perdagangan hari ini mata uang rupiah mengalami pelemahan hingga 0,23% menjadi Rp15.530 per dolar AS. Bahkan mata uang Garuda sempat menyentuh Rp15.570 per dolar di hari ini.
Dalam tahun berjalan (year to date/ytd), rupiah tercatat telah mengalami pelemahan 8,03% terhadap dolar Amerika Serikat yang tercatat menguat 18,1% (ytd). Bahkan Indeks mata uang dolar AS (DXY) berada di level tertinggi, yakni 116 pada September 2022 dan kemudian sedikit mengalami penurunan menjadi 114.
Kuatnya mata uang Negeri Paman Sam itu dipicu oleh agresifnya The Federal Reserve dalam mengambil kebijakan suku bunga. Diprediksi Fed Funds Rate akan terus naik dan mencapai titik tertinggi di akhir tahun ini atau awal tahun depan dengan level 4,75%.
Tingginya suku bunga acuan AS itu mendorong investor pasar uang berbondong-bondong mengalihkan asetnya ke pasar uang AS lantaran dinilai lebih menarik. Perry mengatakan, kondisi tersebut telah membuat mata uang banyak negara mengalami perlemahan.
Namun depresiasi yang dialami rupiah sejauh ini masih relatif lebih baik ketimbang negara-negara lain seperti India tercatat mengalami depresuasi sebesar 10,42%, Malasyia 11,75%, dan Thailand 12,55%.
Relatif terjaganya rupiah disebut tak luput dari kebijakan yang diambil oleh bank sentral dalam melakukan stabilisasi mata uang. "Tentu saja yang terus kita lakukan adalah pertama, mengendalikan nilai tukar rupiah," kata Perry.
"Fakta bahwa dolar sangat kuat, tentu kita tidak ingin menyebabkan pelemahan rupiah di tengah tingginya harga pangan dan energi naik akibat imported inflation," tambahnya.
Selain itu, depresiasi rupiah yang terjadi juga sejauh ini tidak mengganggu performa kinerja perbankan dan korporasi nasional. "Sejauh ini, pelemahan rupiah tidak berdampak pada kondisi perbankan dan korporasi di Indonesia," jelas Perry.
Sementara itu, Direktur PT Laba Forexindo Berjangka Ibrahim Assuaibi menyatakan, pemerintah, BI, dan masyarakat tak perlu kalut menyikapi pelemahan rupiah yang sekarang ini terjadi. Sebab, ini didorong oleh faktor eksternal yang memang tidak dapat dikendalikan.
"Tidak usah panik menyikapi pelemahan mata uang rupiah ini. Hal yang harus dilakukan Indonesia, baik pemerintah atau pun BI sendiri adalah melakukan intervensi secara terukur. Itu karena fundamen perekonomian kita masih cukup bagus," tandasnya. (OL-8)