Pemerintah harus tegas memberikan penalti kepada Inpex, perusahaan asal Jepang yang menjadi operator Blok Masela.
Pasalnya, Inpex telah menyandera kegiatan di blok abadi tersebut dengan tidak melakukan operasional sebagaimana kesepakatan dengan pemerintah.
"Sebenarnya kalau mereka kesulitan keuangan, kan tidak boleh mengambil proyek Masela. Sehingga biarkan orang lain yang benar-benar memiliki kemampuan untuk mengelolanya. Sekarang mereka biarkan operasional terbengkalai dan menyalahkan Presiden Joko Widodo,” kata Direktur Archipelago Solidarity Foundation Engelina Pattiasina dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Senin (10/10).
Menurut dia, Pemerintah tidak perlu ragu dan harus tegas untuk memberikan penalti. Kalaupun mereka hengkang itu hal biasa, karena generasi mendatang akan bisa mengolah gas Masela.
“Jangan sampai kegiatan yang tidak relevan dan signifikan dijadikan alasan untuk menunda pekerjaan di Masela atau seolah-olah mereka mulai operasional, sementara kenyataan tidak ada kemajuan apapun," tukasnya.
"Kalau saya lihat ini sudah menyandera proyek. Kalau mau hengkang, ya hengkang saja. Tidak langsung kiamat. Toh, gas Masela bisa dikerjakan generasi mendatang yang lebih cerdas dan mampu,” sambung Engelina.
Lebih jauh Engelina mengatakan, sebaiknya gas Masela tidak dikeruk kalau memang orang Maluku tidak mendapatkan apapun yang sepadan dengan kekayaan alamnya.
“Untuk apa juga diambil kalau tidak membawa manfaat warga sekitar di Maluku. Kalau hanya mensejahterakan orang di luar negeri ataupun di wilayah di Indonesia lain, sementara Maluku tetap miskin di atas kekayaan alamnya,” ujarnya.
Mantan anggota DPR/MPR ini juga menyoroti pandangan pakar ekonomi Faisal Basri yang menyalahkan pemindahan kilang ke darat. Engelina sangat menyayangkannya, apalagi Faisal justru terlihat seperti konsultan Inpex yang sedang membela kepentingan kilang terapung.
“Sangat disayangkan, mestinya mereka yang paling paham soal multiplier effect ekonomi di mana akan hadir pusat pertumbuhan ekonomi baru di Maluku. Ya, kalau investor, pasti tidak peduli seperti itu, karena hanya untung dan untung saja yang dikejar, kok begini yang dibela," cetus Engelina.
Menurut dia, Presiden Joko Widodo hanya memenuhi tuntutan berbagai elemen orang Maluku yang menuntut agar kilang dipindahkan ke darat, sehingga Maluku bisa memperoleh manfaat ekonomi dari keberadaan kilang itu. Selain itu, katanya, Maluku memiliki kesempatan untuk menjadi pusat industri Migas, kalau kilang berada di darat.
"Hal ini, akan berbeda kalau kilang terapung karena gas dikeruk kemudian diangkut dengan kapal dibawa ke berbagai pusat industri. Produk industri itu kemudian dipasarkan lagi di Indonesia," katanya.
Menurutnya Blok Masela menguji keberpihakan kepada rakyat Maluku atau kepada investor semata. Kepentingan rakyat harus diletakkan di atas kepentingan investor, tidak boleh dibalik. Karena kalau itu terjadi, bukan saja melawan pasal 33 UUD 1945, tetapi melanggengkan praktek kolonial di abad modern ini.
Menyinggung soal Shell yang hengkang, anak dari JM.Pattiasina, salah satu pendiri PN. Permina (Pertamina) ini mengatakan, bahwa sejarah Shell itu besar di Sumatera Timur. Mereka menjadi perusahaan yang besar karena minyak dari Indonesia.
“Kalau sekarang kaya dan melupakan sejarahnya ya sudah. Perusahaannya memang lagi susah dimana-mana. Bahkan kilang gas terapung Shell, Prelude di laut Australia yang dijadikan acuan untuk kilang terapung Blok Masela juga masih rugi dan diliputi banyak masalah,” papar Engelina.
Lebih jauh ia mengatakan, sebenarnya investor Blok Masela itu perlu memberikan penghargaan kepada Rizal Ramli dan Presiden Joko Widodo, karena secara tidak langsung menghindarkan Inpex dan Shell untuk terjerumus seperti yang dialami kilang terapung Shell di laut Australia yang sampai saat ini bermasalah dan mendapat protes dan karyawannya sendiri.
“Lucu saja kalau Shell hengkang karena kilang dipindahkan ke darat, sementara nyata-nyata mereka memang kesulitan. Reputasi mereka memang jatuh ke titik terendah di Blok Masela, tetapi kok perpindahan kilang jadi kambing hitam," katanya.
"Siapapun boleh kritis sekeras-kerasnya, tetapi ketika kita dihadapkan dengan kepentingan rakyat dan investor, harus jelas posisinya. Kalau masih mau jadi tameng investor, kenapa nggak sekalian jadi konsultan investor saja,” lanjutnya.
Sebaiknya, kata Engelina, jangan berharap kalau ada pergantian kekuasaan maka kilang Blok Masela bisa ditarik lagi ke laut. Sebab, Blok Masela ini sudah terlanjur menjadi harapan agar Maluku keluar dari kemiskinan, jadi kalau ditarik kembali maka tidak ada bedanya dengan menginginkan Maluku tetap miskin.
“Jadi, kalau mereka tidak mengerjakan Blok Masela, dengan harapan menunggu pergantian kekuasaan untuk memindahkan ke laut, maka itu pikiran yang keliru karena rakyat Maluku tidak akan sudi untuk itu,” pungkasnya. (RO/E-1)