Pemerintah kembali berencana menaikkan tarif cukai rokok pada 2023. Rencana tersebut dinilai akan berdampak kepada konsumen dan mata rantai Industri Hasil Tembakau (IHT) lainnya.
Pengamat Kebijakan Publik Henry Thomas Simarmata mengungkapkan ada proses yang terus-menerus ditinggalkan oleh pemerintah, yakni absennya pelibatan serta penerimaan masukan dari mata rantai industri hasil tembakau terhadap kebijakan cukai rokok.
Hal tersebut, kata Henry, menjadi polemik berkepanjangan dan masih berlangsung hingga saat ini. Untuk itu, pemerintah diminta melibatkan dan memberi ruang stakeholders pertembakauan sebelum menentukan tarif cukai rokok.
"Dalam pengambilan kebijakan cukai, seharusnya ada negosiasi antara kelompok petani dan konsumen kepada pemerintah. Karena itu merupakan prinsip dasar dari kebijakan publik yang memiliki dampak pada masyarakat luas, terutama sektor pertembakauan," jelasnya yang dikutip dari siaran pers, Senin (19/9).
Lebih lanjut, Henry menjelaskan, dengan diberinya ruang dan pelibatan stakeholders pertembakauan seperti kelompok tani, industri, sampai konsumen, kebijakan tarif cukai rokok akan menemukan titik temu.
Selain itu, ia memandang pelibatan kepala daerah juga menjadi penting dalam pengambilan keputusan kebijakan cukai rokok. Hal ini dikarenakan selama ini kepala daerah yang memiliki kepentingan terhadap kesejahteraan masyarakatnya, menjadi tidak punya suara atas kepentingan daerahnya.
"Pemerintah sebenarnya berusaha menangkap pergerakan ekonomi dari sektor pertembakauan, tapi regulasi cukai rokok jadi tidak jelas, karena ketidakselarasan antara pemerintah dan kondisi yang dialami di sektor pertembakauan. Semakin ada kontrol dan partisipasi dari stakeholder pertembakauan, maka prosesnya diharapkan semakin baik," ujarnya.
Pelibatan seluruh stakeholder dari hulu ke hilir dinilai menjadi penting dari sisi sosial. Sebab, menurut Sosiolog UIN Jakarta Kasyfiullah, rokok di Indonesia sudah menjadi bagian dari budaya orang Indonesia. Pemberian ruang untuk pengambilan kebijakan dapat mendorong interaksi sosial yang erat.
Ia bilang, secara sosial, rokok sangat lekat dengan interaksi sosial antar masyarakat sehingga konsumen rokok memiliki lapisan kelas sosial yang beragam. Para pemangku kepentingan hingga konsumen disebut bisa membicarakan kebijakan secara berdialog. "Imbas dari dari kenaikan cukai rokok akan berdampak kepada masyarakat luas. Karena, produk rokok ini memiliki konsumen yang kelas sosialnya juga luas. Jadi persoalan kebijakan cukai rokok jangan dianggap remeh," kata Kasyfiullah.
Dari sisi konsumen, perwakilan konsumen yang juga pegiat media sosial, Mazzini menyebutkan konsumen sebagai pihak yang membayarkan cukai rokok, sejatinya memiliki hak untuk menyuarakan keberatan atas rencana pemerintah menaikkan tarif cukai rokok.
"Kenaikan cukai jelas sangat membebani konsumen, yang kemudian membuat konsumen beralih ke rokok ilegal. Maka harapannya, jangan ada kenaikan cukai rokok yang signifikan," jelasnya.
Mazzini yang juga fokus pada kajian literasi sejarah juga menjelaskan dalam sejarah kebijakan cukai rokok belum pernah ada keberpihakan terhadap konsumen. Hal ini sudah dimulai sejak kebijakan cukai di Indonesia pertama kali ditelurkan oleh kolonial Hindia Belanda dalam bentuk Staatsblad hingga penyesuaian peraturan cukai rokok yang ada pada saat ini.
"Sejak dulu, sejatinya kebijakan cukai memang tidak memiliki keberpihakan terhadap konsumen, dan selalu menjadi hambatan bagi industri hasil tembakau," katanya. (OL-12)