INRI Lesmana, seorang pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), mengaku tak menyangka bisa bertemu secara langsung dengan Presiden Joko Widodo saat penyerahan Nomor Induk Berusaha (NIB) secara simbolis dari Kementerian Investasi, di Gedung Olahraga Nanggala Kopassus, Jakarta Timur, Juli lalu.
Inri terpilih bersama sejumlah pelaku UMKM lainnya untuk berada di barisan paling depan dan berkesempatan untuk foto bersama Presiden.
Dalam acara itu, sekitar 400 UMKM binaan PT HM Sampoerna Tbk (Sampoerna) di DKI Jakarta dan sekitarnya, termasuk Inri, resmi menerima NIB. Selain sebagai identitas dan legalitas, NIB juga diharapkan dapat membantu perkembangan usaha para pelaku usaha, seperti kemudahan mendapatkan izin Standar Nasional Indonesia (SNI) dan Sertifikasi Jaminan Produk Halal (SJPH), dan akses permodalan.
Inri mengaku senang mendapatkan kesempatan itu, yang dinilainya sebagai momen dukungan terhadap pelaku UMKM. Menurut dia, penyerahan langsung NIB oleh Presiden Jokowi menambah kepercayaan diri para pelaku UMKM. Harapan Inri, dengan adanya NIB, para pelaku UMKM akan lebih mudah mendapatkan pinjaman dari bank, seperti disampaikan Presiden Jokowi.
Dalam pernyataannya, Presiden Jokowi mengajak seluruh pelaku usaha untuk segera mendapatkan NIB. Menurut Presiden, NIB akan mempermudah pengurusan kredit usaha di bank dan memudahkan pemerintah ketika akan memberikan bantuan kepada pelaku UMKM.
Bagi Inri, penyerahan NIB menjadi bagian dari perjalanannya membangun bisnis toko kelontong yang telah ia pelajari sejak kecil dari sang ayah. Inri bersama sang Ayah merantau dari Bogor ke Jakarta pada 2004 untuk membuka toko kelontong di kawasan Lubang Buaya, Jakarta Timur.
Untuk modal, ayah Inri menjual sepeda motornya seharga Rp6 juta. Uang hasil penjualan sepeda motor ini yang digunakan untuk membuka toko. Setelah dua tahun berjalan, usaha toko kelontong berjalan lancar. Perekonomian keluarga juga membaik. Dari situ, kata Inri, sang Ayah bisa kembali membeli sepeda motor secara kredit serta memboyong ibu dan adik Inri ke Jakarta.
“Tahun 2009, kami beli tanah 40-50 meter, kemudian dibangun. Harganya waktu itu sekitar Rp60 juta sampai Rp70 juta. Tahun 2010, saya lulus SMA, kebetulan sempat cari kerja sana-sini, dan jadi supir pribadi pejabat eselon 2. Jadi bapak-ibu fokus di toko, saya bekerja sebagai sopir pribadi,” kisah Inri.
Seiring berjalannya waktu, ayah dan ibu Inri memutuskan kembali ke Bogor dan membangun usaha di sana. Inri tetap meneruskan usaha toko kelontong orangtuanya di Lubang Buaya. Akan tetapi, ada beban kredit di bank yang ditinggalkan sang ayah. Ia pun berusaha melunasi utang-utang tersebut hingga 2014.
Baca juga : Riset Pasar Jadi Kunci Pertama UMKM untuk Naik Kelas
“Jadi baru bisa menikmati hidup itu tahun 2014. Tahun 2015, saya memberanikan diri membeli mobil,” kata Inri.
Dengan mobil yang dibelinya secara kredit, beban keuangan terasa berat bagi Inri karena harus menyisihkan biaya kebutuhan sekolah adiknya dan membayar kontrakan. Untuk itu, Inri pun sempat menjadi driver transportasi online selama setahun.
Pada akhirnya, ia memilih untuk menjual mobil tersebut dan menggunakan uang hasil penjualan mobil untuk membeli tanah seluas 50 meter di Bogor. Usaha toko kelontong di Bogor itu masih berjalan hingga sekarang. Tak hanya satu, Inri memiliki tiga toko kelontong di Kota Hujan itu, berkat perjuangan belasan tahun merintis dan mengembangkan usahanya.
Pada 2017, Inri menjadi bagian dari UMKM binaan Sampoerna ketika bergabung ke dalam Sampoerna Retail Community (SRC). SRC merupakan komunitas toko kelontong terbesar di Indonesia. Komunitas ini memiliki jumlah anggota lebih dari 160.000 toko kelontong dan 6.000-an paguyuban.
Sebelum bergabung dengan SRC, Inri tak punya bayangan akan membesarkan usaha toko kelontongnya. Ketika bergabung dengan SRC, pemilik toko kelontong Bara Cafe ini mulai merapikan tokonya. Belajar pengelolaan dan penempatan barang-barang di toko, belanja menggunakan aplikasi, dan lain-lain.
“Saya percaya, SRC ini mengajak anggotanya untuk menjadi lebih baik dan berkembang usahanya,” kata Inri.
Setelah bergabung dengan SRC, Inri mengakui, selain “mempermak” tokonya menjadi lebih menarik, ia juga mendapatkan pandangan yang berbeda dalam melihat kompetitor.
“Tadinya kita menganggap semua toko saingan, tapi ternyata kita dalam naungan yang sama (SRC). Dari situ malah asik, anggap semuanya rekan, kami sering berbagi informasi barang murah. Menambah kenalan, saudara, dan jaringan, saling membantu,” kata dia.
Inri juga sering membantu pemilik toko kelontong lain di SRC yang membutuhkan bantuan pengecatan toko maupun pengadaan rak. Ibaratnya, kata dia, di SRC semuanya punya prinsip maju dan berkembang bersama. Ikatan kekeluargaan di antara anggota SRC juga dinilainya sangat kuat. (RO/OL-7)