SEJAK libur Lebaran pada bulan lalu hingga hari ini, harga tiket pesawat rute internasional dan domestik masih tinggi. Tiket dari Jakarta-Singapura pulang pergi misalnya, dipatok hingga kisaran Rp10 juta.
Ketua Umum DPP Asosiasi Travel Agent Indonesia (Astindo) Pauline Suharno mengaitkan hal tersebut dengan pengurangan frekuensi penerbangan dari maskapai dalam negeri.
"Dulu dalam sehari, Garuda siapkan enam penerbangan dari Jakarta-Singapura, sekarang hanya sekali sehari," ujarnya dalam tayangan video yang dikutip, Kamis (2/6).
Rute Jakarta-Bangkok juga demikian, mengalami pengurangan frekuensi penerbangan, menurut Pauline. Sebelumnya, setiap hari ada penerbangan ke Bangkok, kini hanya seminggu dua kali penerbangan.
Akibat pengurangan frekuensi itu tentu berdampak pada keterbatasan kursi penumpang. Sehingga, membuat tiket pesawat melonjak naik signifikan karena diburu masyarakat.
"Tidak cuma rute pendek aja, tapi rute panjang juga terdampak pada kenaikan harga tiket. Ini karena kekurangan armada dan kekurangan frekuensi penerbangan," jelasnya.
Baca juga : Transaksi BI-Fast Capai Rp320,6 Triliun Sampai Dengan Mei 2022
Sementara itu, Pengamat penerbangan Arista Atmadjati menuturkan, kenaikan harga tiket pesawat tidak lepas dari meroketnya harga avtur, yang merupakan bahan bakar pesawat.
Berdasarkan data Pertamina per 15-31 Maret 2022, harga avtur di Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng mencapai US$87,50 sen per liter untuk penerbangan internasional. Sedangkan, untuk kategori domestic flight into plane/not into plane Rp13.677,20 per liter.
"Hampir enam bulan ini terjadi kenaikan minyak yang berdampak pada avtur. Apalagi dipicu geopolitik Rusia-Ukraina itu juga menambah runyam," ucapnya.
Dihubungi terpisah, Pengamat penerbangan Gerry Soejatman menilai wajar soal melonjaknya harga tiket pesawat karena ada permintaan yang tinggi, khususnya saat musim libur pada Mei lalu.
Di satu sisi, pemerintah dianggap tidak bisa berbuat banyak atas kenaikan tiket pesawat tersebut. Pasalnya, untuk tarif yang dipasang dari maskapai asing, pemerintah tidak berwenang mengatur pemberlakuan tarif batas atas dan bawah.
"Apakah pemerintah butuh intervensi? Tidak perlu. Untuk domestik, harga masih ketahan dengan aturan tarif batas atas. Kalau internasional memang tidak ada aturan pembatasannya," pungkasnya. (OL-7)