18 November 2021, 15:58 WIB

Bentuk Pasar Karbon, Indonesia Tolak Menjadi Tujuan Green Washing


M Ilham Ramadhan Avisena |

MENTERI Keuangan Sri Mulyani Indrawati menolak Indonesia dijadikan negara tujuan green washing oleh negara-negara maju penghasil emisi karbon. Karenanya, bendahara negara tengah memikirkan tarif karbon yang relevan untuk menjaga kepentingan nasional tetapi juga menarik bagi investor.

"Indonesia harus protecting our carbon market. Jangan sampai kita jual terlalu murah dan awal. Nanti kreditnya diambil perusahan yang dahsyat dan membeli karbon dengan murah. Ini merupakan strategi dari instrumen, regulator, policy, dan timing," ujarnya dalam Kompas 100 CEO Forum 2021 bertema Ekonomi Sehat 2022, Kamis (18/11).

Diketahui, pemerintah tengah menyiapkan pasar karbon sebagai salah satu upaya memitigasi dampak perubahan iklim. Keberadaan pasar karbon diharapkan menekan penggunaan emisi berlebih guna mewujudkan pemanfaatan energi bersih yang berkelanjutan.

Indonesia telah memiliki Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan sebagai dasar hukum pembentukkan pasar karbon. Dalam UU itu, pemerintah menetapkan tarif pajak karbon senilai Rp30 per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2) atau satuan yang setara. Nilai itu merupakan tarif minimum yang dapat dikenai kepada penghasil emisi karbon.

Sri Mulyani bilang, tarif karbon yang rendah berpotensi dimanfaatkan oleh perusahaan-perusahaan penghasil karbon untuk mengakali indikator enviromental sustainablity governance (ESG). Karenanya, dibutuhkan regulasi yang kuat dan konsistensi pada upaya memitigasi perubahan iklim agar hal itu tak terjadi.

Penetapan tarif karbon Indonesia juga menurutnya cukup murah. Pasalnya beberapa negara telah mematok tarif karbon dengan nilai tinggi. Kanada, misalnya, saat ini menetapkan tarif karbon senilai US$40 per kilogram CO2 dan berencana menaikkannya menjadi US$145 per kilogram CO2.

Sri Mulyani bilang, hal itu menjadi dilematis lantaran pemerintah juga tak bisa menetapkan tarif karbon dengan nilai tinggi. "Masalahnya ada di affordabilty. Kalau ditaruh harga mahal dan kita tidak bisa afford, ya kolaps ekonominya atau seperti yang terjadi sekarang di beberapa negara, ada krisis energi," jelas dia.

"Namun kalau (tarif) terlalu murah, nanti banyak yang beli di Indonesia. Polusi di negara maju dan mereka membeli karbon murah di Indonesia. Ini yang disebut akan terjadi leakage atau green washing atau di sana tetap mempolusi dan membelinya di tempat karbon yang murah," sambungnya.

Namun di saat yang sama pula, lanjut perempuan yang karib disapa Ani, tarif karbon yang tinggi akan membuat perusahaan energi fosil enggan berproduksi. Padahal energi bersih yang diidamkan belum sepenuhnya dapat dijalankan lantaran ketersediaan infrastruktur dan faktor lainnya.

Karena itu diperlukan perencanaan matang dalam penerapan tarif karbon. "Kalau dunia terlalu ekstrem tanpa kalkulasi, yang terjadi yaitu fossil fuel dan coal harganya menjadi naik sangat tinggi, CO2 makin banyak diproduksi, karena itu tidak terjangkau. Jadi tidak ada yang mampu menjatuhkan ekonomi karena listrik tidak berproduksi," tutur Ani.

Baca juga: Kapitalisasi Pasar Modal Ditargetkan Lebih dari 70% PDB

"Sekarang kalau semua memolusikan, polluter by principal, mereka akan ditanyakan pada level berapa polusi itu. Ini menjadi persoalan juga, di dunia sedang dibahas," pungkas dia. (OL-14)

BERITA TERKAIT