15 September 2021, 16:13 WIB

Gobel Minta OJK Lakukan Moratorium Pinjol


Mediaindonesia.com |

WAKIL Ketua DPR Koordinator Bidang Industri dan Pembangunan (Korinbang) Rachmat Gobel meminta agar pemerintah atau Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melakukan moratorium terhadap aktivitas pinjaman online (pinjol). Permintaan ini seiring kian maraknya praktik ilegal yang sangat merugikan masyarakat. 

"Tiap hari kita disodori berita yang menyedihkan dari masyarakat yang terbelit masalah akibat praktik tidak sehat dari pengelola pinjaman online. Bahkan ada yang bunuh diri karena tidak bisa membayar cicilan utang mereka yang membengkak secara luar biasa. Pinjam satu-dua juta, tapi pengambaliannya bisa membengkak sampai puluhan juta, ini kan tidak masuk akal. Untuk melindungi masyarakat, saya minta OJK melakukan moratorium. Stop dulu," kataya, Rabu (15/9).

Gobel mengakui ide awal dari kelahiran pinjol untuk meningkatkan inklusivitas sektor keuangan, tetapi dalam praktiknya terlihat ada ketidaksiapan dari berbagai lembaga terkait. Inilah yang kemudian membuat munculnya praktik tidak sehat, bahkan menjamurnya pengelola pinjol ilegal, baik dari dalam negeri maupun luar negeri. 

Seperti diberitakan di berbagai media maupun beredar dalam media sosial, rakyat kecil banyak terjerat pinjol. Mereka teriming-imingi oleh kemudahan pinjol tetapi kemudian tak mampu membayar karena bunganya yang berlipat. Padahal mereka umumnya rakyat kecil yang sedang kesusahan, seperti orang miskin dan yang kehilangan pekerjaan. "Kalau praktik pinjol seperti ini, mereka menjadi seperti rentenir," kata Gobel.

Otoritas keuangan, menurut Gobel, perlu melakukan evaluasi serius terhadap keberadaan pinjol. Mereka perlu membuat pemetaan dari berbagai masalah yang muncul selama ini dan cara mengatasinya. Hal ini termasuk cara mengatasi perusahaan pinjol yang beroperasi dari luar negeri. Ini harus segera dilakukan agar situasi tidak semakin memburuk.

Menurut data Satgas Waspada Investasi (SWI) Otoritas Jasa Keuangan (OJK), penegakan hukum penanganan pinjol masih menghadapi banyak masalah, terutama yang ilegal. Mereka sulit ditangani karena pemilik pinjol ilegal hanya 22% yang memiliki server di Indonesia. Sedangkan 44% lain tidak terdeteksi dan sisanya berada di luar negeri.

Wakil rakyat dari Partai Nasdem itu menilai maraknya pinjol juga harus menjadi indikator bagi otoritas keuangan untuk perlu instrospeksi bagi lembaga-lembaga keuangan seperti bank, koperasi, dan PNM. "Maraknya pinjol tidak terlepas dari ketidakmampuan bank, koperasi, dan PNM menjangkau orang-orang yang sedang kesusahan tersebut," katanya.
 
Karena itu, Gobel berpendapat, pemerintah dan otoritas keuangan segara memperkuat perbankan untuk rakyat kecil, koperasi, dan PNM. "Berikan prosedur yang lebih mudah," katanya. Selain itu, katanya, perkuat jejaringnya agar bisa menjangkau ke seluruh pelosok negeri.

Menurut survei Bank Indonesia (BI), pelaku usaha kecil yang sudah mendapat aliran kredit dari bank sebenarnya baru mencapai 30,5% dari total UMKM di dalam negeri. Sisanya 69,5% belum mendapat akses kredit bank. Dari jumlah ini sekitar 43% dinilai sangat membutuhkan kredit dengan potensi bisa mencapai Rp1.600 triliun. "Jadi credit gap atau kesenjangan kredit masih tinggi. Oleh karena itu tidak boleh menyalahkan masyarakat jika mereka tergiur dengan pinjol. Mereka sangat membutuhkan pembiyaan, tetapi bank, koperasi, dan PMN tidak mampu melayani kebutuhan itu. Kondisi inilah yang harus dibenahi," kata Gobel.

Dari sisi regulasi, menurut Rachmat, perlindungan terhadap masyarakat belum kuat karena kehadiran perusahaan pinjol baru diatur berdasarkan Peraturan OJK Nomor 77 Tahun 2016. Selain itu, sampai saat ini UU Perlindungan Data Pribadi belum bisa disahkan karena pemerintah tidak setuju pembentukan lembaga pengawas yang bersifat independen.

Baca juga: Pinjol Ilegal Jerat Guru Di Jawa Tengah 

Terkait dengan aktivitas keuangan digital seperti pinjol, Indonesia membutuhkan UU Financial Technology (Fintech) dan UU Perlindungan Data Pribadi. Namun sampai saat ini UU Fintech masih menjadi wacana. Pembahasan UU Perlindungan Data Pribadi pun masih terganjal sikap pemerintah. (OL-14)

BERITA TERKAIT