KEBAKARAN kawasan Gunung Bromo, Jawa Timur, akibat penggunaan flare pada sesi foto pranikah (prewedding) pantas membuat kita marah. Kebakaran itu bukan semata buah kecerobohan, melainkan juga kecurangan. Rombongan prewedding itu hanya membeli tiket daring yang diperuntukkan wisatawan. Padahal, kegiatan komersial, termasuk prewedding, di kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS) semestinya menggunakan surat izin masuk kawasan konservasi (simaksi).
Kecurangan dengan menggunakan status wisatawan itu sudah menunjukkan iktikad buruk yang lebih dari sekadar ingin masuk secara murah sebab dengan tiket wisatawan, pengunjung tidak diharuskan melampirkan perincian bentuk kegiatan dan daftar peralatan yang dibawa. Dua hal itu termasuk dalam hal syarat mendapatkan simaksi.
Bukan saja licik, rombongan prewedding tersebut juga tidak acuh ketika sisa flare mereka menimbulkan kebakaran. Sebagaimana yang terlihat di video yang beredar luas, tim wedding organizer ataupun pasangan pengantin sama-sama tidak peduli meski api sudah membesar di bekas tempat mereka melakukan pemotretan.
Kelicikan, ketidakjujuran, dan kecerobohan yang hingga saat ini telah menghanguskan 274 hektare kawasan Bromo itu harus dijerat hukum. Saat ini manajer sekaligus fotografer di wedding organizer tersebut, yakni Andrie Wibowo, telah ditetapkan sebagai tersangka. Kita mendorong agar polisi tidak segan menetapkan tersangka lain jika memang terindikasi ikut menyebabkan kebakaran. Penjeratan seluruh orang terlibat harus dilakukan untuk memberikan efek jera bagi masyarakat luas.
Di sisi lain, begitu sulitnya pemadaman kebakaran yang berlangsung sejak Rabu (6/9) sebenarnya memberikan gambaran akan peliknya ancaman karhutla di Jawa. KLHK dan BPBD menyebut pemadaman mendapat tantangan berat karena wilayah yang berbukit, angin kencang, serta fenomena El Nino yang menyebabkan keringnya lahan. Sebab itu, hanya dalam waktu hitungan jam, luasan lahan yang terbakar sudah puluhan hektare.
Penanganan karhutla dengan kondisi geografis perbukitan tentu membutuhkan pendekatan berbeda dengan karhutla di wilayah gambut Kalimantan yang cenderung datar. Kondisi tanah datar membuat pengerahan alat berat, seperti ekskavator akan lebih memungkinan. Lahan gambut juga memungkinkan pembangunan sekat kanal untuk mencegah api meluas.
Sementara itu, di Jawa, sebagaimana yang terlihat dalam upaya pemadaman di Bromo, cara yang menjadi tumpuan ialah penyiraman dengan tangki air dan pendinginan menggunakan gepyok alias cara-cara manual. Water bombing tidak selalu bisa diandalkan, bahkan sempat harus dihentikan karena angin kencang di perbukitan.
Dengan tren kejadian karhutla sepanjang 2019-2023 yang justru paling tinggi di Jawa, kita sesungguhnya dalam kondisi darurat. Kita membutuhkan sistem penanganan karhutla yang mumpuni untuk di Jawa. Kepala Pusat Data, Informasi, dan Komunikasi Kebencanaan BNPB Abdul Muhari pernah mengusulkan perlunya pembentukan satgas pengendalian karhutla untuk sejumlah provinsi di Jawa, terkhusus Jawa Timur dan Jawa Tengah yang memiliki cukup banyak sabana.
Kita mesti menyadari pentingnya keberadaan satgas darat ataupun satgas udara itu karena kebakaran-kebakaran serupa dapat bereskalasi hingga membahayakan permukiman warga. Kita tentu tidak ingin peristiwa-peristiwa kebakaran hebat seperti di Yunani dan Amerika Serikat terjadi di Indonesia.
Karena itu, kita mendesak pihak-pihak terkait, baik BNPB, KLHK, maupun TNI, untuk segera membangun sistem penanggulangan karhutla di Jawa. Kebakaran di Bromo ialah pelajaran sangat mahal yang tidak boleh terulang. Kita mendukung hukum ditegakkan kepada para pelaku penyebab kebakaran. Beriringan dengan itu, sosialisasi pencegahan kebakaran, khususnya karhutla, kepada masyarakat di wilayah rawan karhutla harus digencarkan.