DI acara Milad Pondok Pesantren Ora Aji, Sleman, Yogyakarta, pada Jumat (8/9) malam, salah satu bakal calon presiden (bacapres) yang juga Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto mengatakan agar masyarakat menerima jika ada yang bagi-bagi uang jelang pemilu. Akan tetapi, ia mengingatkan warga agar tetap memilih sesuai hati nurani mereka. Artinya, secara benderang, bacapres yang diusung Koalisi Indonesia Maju itu memaklumi money politics alias politik uang dalam pemilu.
Padahal, dalam Undang-Undang Nomor 7/2017 tentang Pemilihan Umum perbuatan itu jelas diharamkan. Ketentuan itu terutama terdapat pada Pasal 523 ayat(1), ayat (2), dan ayat (3). Dalam pasal tersebut disebutkan tentang larangan politik uang yang terbagi dalam tiga masa atau tahapan, baik pada masa kampanye, pada masa tenang, maupun pada saat pemungutan suara.
Hukuman bagi mereka yang terlibat politik uang pun tidak main-main. Dalam aturan itu, misalnya disebutkan, ‘Setiap orang yang dengan sengaja pada hari pemungutan suara menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada pemilih untuk tidak menggunakan hak pilihnya atau memilih peserta pemilu tertentu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp36 juta’.
Pernyataan Prabowo yang permisif dan memaklumi politik uang tentu tidak hanya menggelitik, tetapi juga pantas dikritik. Pemilu memang merupakan ajang rivalitas untuk menjaring calon pemimpin, tetapi ia tidak boleh menghalalkan segala cara.
Ada kepatutan-kepatutan yang perlu diatur dan tidak boleh dilanggar, salah satunya ialah politik uang. Selain merupakan kejahatan elektoral, tindakan bagi-bagi uang itu juga merusak demokrasi. Lagi pula, tindakan itu bertentangan dengan asas pemilu yang jujur dan adil.
Selama ini memang agak susah membuktikan politik uang. Namun, itu jangan jadi alasan untuk membiarkan, apalagi membenarkan praktik-praktik culas semacam itu. Selain tidak mendidik, ucapan mantan Danjen Kopassus itu juga terkesan merendahkan martabat masyarakat. Seolah mereka berpartisipasi dalam pemilu hanya untuk mendapat imbalan sesuatu, bukan untuk memberikan hak suara mereka guna menentukan nasib bangsa ini ke depan.
Dosa politik yang harus dicegah dari money politics ialah jangan sampai mereka yang memiliki banyak uang membeli dan mengatur kebijakan negara. Itu yang semestinya diedukasi, bukan malah bersikap permisif menyuruh rakyat menggadaikan harga diri.
Seorang pemimpin dinilai dari tingkah laku, ucapan, ataupun sikap termasuk dalam melihat dan memandang persoalan. Dalam hal pemberantasan korupsi, misalnya, Prabowo mengatakan akan menaikkan gaji pegawai pemerintah, baik itu PNS maupun TNI dan Polri, sebagai salah satu upaya solusi.
Rendahnya kesejahteraan aparatur pemerintah dianggapnya sebagai sumber korupsi. Sikap itu seolah menunjukkan mereka yang bergaji rendah berpotensi atau cenderung korupsi. Padahal, dalam banyak kasus, para petinggi dan pemegang kuasa dan jabatanlah yang kerap rakus dan korup. Lagi pula, apa jaminannya mereka yang sudah makmur dan sejahtera tidak berperilaku koruptif?
Pemilu memang masih kurang lebih lima bulan lagi digelar. Akan tetapi, dari sekarang, rakyat yang kini sudah semakin cerdas sepertinya sudah bisa menentukan siapa calon yang layak dipilih untuk memimpin negeri ini. Pemilu ialah momentum bangsa ini membangun integritas, mulai penyelenggara pemilu, peserta pemilu, hingga masyarakat pemilih. Integritas bangsa jangan dirusak oleh politik uang. Tidak boleh ada kompromi dengan praktik lancung tersebut.