KEBEBASAN berpendapat di negeri ini mendapatkan ancaman dari sekelompok orang yang gemar memaksakan kehendak. Mereka tidak segan menunjukkan sikap-sikap anarkistis agar keinginan mereka dituruti.
Kali ini yang menjadi sasaran ialah Rocky Gerung. Akademisi yang dikenal vokal mengkritik pemerintah itu tengah tersandung kasus pidana karena makian dengan kata-kata kasar yang ditujukannya kepada Presiden Joko Widodo.
Rocky ramai-ramai diadukan kepada pihak kepolisian di berbagai daerah dengan tuduhan menghina presiden. Pro-kontra pun mencuat dan belakangan polisi memproses Rocky secara hukum, tapi bukan atas tuduhan menghina presiden.
Rocky dimintai klarifikasi terkait dengan dugaan penyebaran berita bohong sehingga menimbulkan keonaran di kalangan masyarakat sebagaimana diatur dalam Pasal 14 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946.
Polisi menyebut dugaan berita bohong memancing keonaran di sejumlah wilayah. Rocky juga diproses terkait dengan Pasal 160 KUHP tentang penghasutan dan Pasal 45 juncto Pasal 28 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) tentang penyebaran berita mengandung kebencian.
Alih-alih sabar menunggu proses hukum, sekelompok orang memilih mengintimidasi bahkan sampai melakukan kekerasan. Rocky dilabrak seusai diperiksa di Mabes Polri, Rabu (6/9).
Pelakunya perempuan yang belakangan diketahui sebagai bakal calon anggota legislatif dari PDI Perjuangan Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Pelabrak Rocky diduga berasal dari kelompok yang mendemo dan melempari rumah Rocky dengan telur.
Kemudian, pada Jumat (8/9), sekelompok orang yang menyebut diri Pejuang Nusantara Indonesia Bersatu (PNIB) menggelar aksi penolakan atas diskusi yang menghadirkan Rocky Gerung sebagai salah satu pembicara. Dalam acara yang digelar di Sleman, Yogyakarta, itu, botol mineral pun melayang dari arah massa PNIB ke panggung hingga mengenai pembicara lain, yakni pakar hukum tata negara Refly Harun.
Ini bukan pertama kalinya massa PNIB melakukan aksi menolak kehadiran Rocky dalam acara diskusi. Sebulan yang lalu, mereka menggelar aksi serupa, juga di Sleman.
Bahkan, sejumlah kampus tiba-tiba membatalkan diskusi dengan Rocky, padahal organisasi mahasiswa jauh-jauh hari sudah mengundangnya. Seharusnya kelompok yang kontra ikut serta dalam diskusi tersebut dan berdebat, misalnya soal penggunaan diksi-diksi yang dinilai tidak etis yang acapkali disampaikan Rocky.
Mereka tidak peduli bahwa kebebasan berpendapat merupakan hak mendasar warga negara Indonesia yang dilindungi konstitusi. Pasal 28 dan Pasal 28E ayat (3) Undang Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.
Betul, para peneror Rocky juga memiliki hak untuk menyampaikan pendapat dan pendapat itu bisa bertentangan dengan warga yang lain, termasuk Rocky. Akan tetapi, penyampaian pendapat yang dilindungi konstitusi bukanlah dengan cara-cara mengintimidasi apalagi anarkistis.
Berunjuk rasa tentu saja boleh, tapi tidak menghalang-halangi hak orang lain menyampaikan pendapat. Bila perlu, undang Rocky Gerung untuk debat dalam forum diskusi.
Kebebasan berpendapat sampai hari ini masih mendapatkan ganjalan dari sisi penguasa dan perangkat undang-undang. Revisi pasal-pasal karet dalam UU ITE, di antaranya Pasal 28, yang dinilai memberangus kebebasan berpendapat, baru dimulai. Itu pun masih dirundung masalah minimnya transparansi dalam proses pembahasan di DPR.
Kemudian, ditambah dengan perilaku sekelompok masyarakat yang cenderung anarkistis dalam merespons kebebasan berpendapat. Pantas saja bila hasil survei Indikator Politik Indonesia yang digelar tahun lalu menunjukkan sebanyak 62,9% masyarakat merasa takut berpendapat.
Edukasi secara luas kepada warga negara agar jangan takut berpendapat sekaligus menghormati hak orang lain harus digalakkan demi menegakkan demokrasi. Yang jelas, upaya itu akan muskil bila pihak penguasa mencontohkan sebaliknya.