SABAN pesta demokrasi berlangsung, apakah itu pemilu atau pilkada, Nahdlatul Ulama (NU) bisa menjadi penentu. Jumlah anggota mereka yang luar biasa banyak pun membuat setiap kontestan tak mungkin menyampingkan mereka.
NU ialah organisasi keagamaan terbesar di Indonesia, bahkan di dunia. Jumlah anggota mereka pada 2021 diperkirakan lebih dari 95 juta jiwa atau meningkat pesat ketimbang 2013 sebesar 40 juta jiwa. Itu baru anggota organisasi. Yang mengaku sebagai warga NU lebih banyak lagi.
Dalam sebuah survei pada 2022, tidak kurang dari 56,9% dari total penduduk Indonesia yang beragama Islam mengaku sebagai nahdiyin, terafiliasi dengan NU. Kalau dipersentasekan dari total populasi muslim di Indonesia yang sekitar 250 juta sampai 260 juta jiwa, berarti yang mengeklaim sebagai warga NU bisa 140 juta lebih.
Dari jumlah tersebut, sekitar 80 juta jiwa disebut-sebut memiliki hak pilih di Pemilu 2024. Ada pula yang memperkirakan sekitar 40 juta jiwa, tetapi jumlah itu tetaplah sangat besar. Jadi, bayangkan betapa luar biasanya warga NU bisa menjadi faktor penentu kontestasi. Mereka begitu dominan dari total pemilih tetap sebanyak 204.807.222 orang.
Politik ialah seni membaca situasi. Tak perlu berpikir njlimet, situasi di NU telah secara gamblang, terang benderang, menyediakan begitu banyak suara sebagai modal untuk memenangi kompetisi. Pada konteks itu pula, wajar, sangat wajar, jika para kontestan, baik partai politik, calon anggota legislatif, maupun pasangan capres-cawapres, memberikan atensi begitu tinggi terhadap nahdiyin.
Fakta terkini ditunjukkan bacapres Anies Baswedan. Anggota Koalisi Perubahan untuk Persatuan, terutama Partai NasDem, jelas dan tegas menyadari betapa menentukannya warga NU. Untuk itu, dengan segala dinamikanya, dipilihlah Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar sebagai bacawapres Anies.
Pilihan itu bukan tanpa risiko. Koalisi bahkan pecah. Partai Demokrat yang sedari awal menyodorkan ketua umum mereka, Agus Harimurti Yudhoyono, memilih hengkang. Satu partai lagi, PKS, tetap berkomitmen mengusung Anies, tapi soal Cak Imin masih menunggu keputusan rapat Majelis Syuro.
Politik mengajarkan politikus untuk berpikir realistis dalam menghadapi kontestasi. Realitasnya, Anies memang lemah di Jawa Timur dan Jawa Tengah, dua provinsi yang menjadi basis warga NU. Faktanya, kalau babak belur di dua provinsi itu, peluang Anies untuk menang terbilang kecil.
Oleh karena itu, kalau kemudian Cak Imin yang akhirnya dipilih sebagai pendamping Anies, semua rumus dalam kompetisi politik terpenuhi. Memilih calon mutlak tepat, pantang asal-asalan, tak boleh tunduk pada desakan dan ancaman. Buat apa berkompetisi jika kecil kemungkinannya untuk menang karena sembarangan mengajukan kontestan?
Cak Imin memang tidak mewakili NU, tetapi mustahil terbantahkan bahwa dia orang NU. Cak Imin pun masih memegang teguh tradisi NU. Dia, misalnya, tak melupakan para leluhur dengan berziarah ke makam Wali Sanga.
PKB yang dipimpin Cak Imin memang tidak mendominasi pemilih dari kalangan NU, tetapi tak mungkin disangkal konstituen mereka mayoritas warga NU. Cak Imin dan PKB bukanlah wong liyan bagi warga NU.
Wajar pula bacapres Prabowo Subianto dan Ganjar Pranowo bersemangat untuk dekat-dekat dengan NU, mengharap restu kiai NU untuk meraup dukungan dari warga NU. Prabowo, misalnya, baru saja disambangi putri tokoh NU Gus Dur, Yenny Wahid. Bisa jadi keduanya akan bekerja sama.
Yenny dan Cak Imin sama-sama NU, tetapi berseteru. Soal siapa yang lebih berpengaruh di kalangan warga NU, biarkan nanti waktu yang berbicara.
Mendulang suara warga NU bukan kesalahan. Ia sah-sah saja, benar adanya demi memenangi kompetisi. Yang paling penting, jika menang nanti jangan lupakan mereka. Jangan jadikan kiai, warga NU, juga seluruh warga bangsa sekadar pendorong mobil mogok. Tenaga mereka dibutuhkan, tetapi ketika mobil bisa jalan, semua ditinggalkan.