
TIDAK sulit dimengerti mengapa pidato Presiden Jokowi di Ecosperity Week di Singapura, Rabu (7/6) menjadi perbincangan internasional. Dalam event untuk mendorong pembangunan hijau itu Presiden memilih ‘jualan’ Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara.
Memang tidak salah Presiden mempromosikan megaproyek IKN yang ditargetkan selesai pada 2045 itu. Terlebih, IKN memang didesain menjadi kota net-karbon pertama di Tanah Air.
Dengan begitu, pidato ‘jualan’ IKN tersebut tidak salah dalam konteks tempat. Jangan pula kita memusingkan ajakan Presiden bagi warga Singapura tinggal di IKN. Sekadar tinggal jelas berbeda dengan kepemilikan. Selain itu, sebagai kota besar dunia, IKN memang harus siap menjadi melting pot.
Yang pantas diherankan ialah cermin prioritas Jokowi di pidato itu. IKN tampak sekali menjadi prioritas. Padahal, banyak target-target penting yang belum tercapai hingga akhir kepemimpinan ini.
Memang dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang IKN, pemerintah mengemban amanat mewujudkan IKN. Sudah begitu, pemerintah sendiri menargetkan pembangunan tahap pertama selesai tahun depan, sementara hingga kini masih sepi investor.
Namun, IKN tidak boleh mengesampingkan target-target genting nasional. Khusus soal utang target di RPJMN 2020-2024, bahkan baru beberapa hari lalu disampaikan Menteri Menteri Perencanaan dan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, Suharso Monoarfa, di DPR.
Sebut saja, angka stunting yang saat ini masih dikisaran 21,6%. Padahal, tahun depan ditargetkan dapat turun hingga mencapai 14%. Masih soal target RPJMN 2020-2024 yang jauh panggang dari api, yakni target fasilitas kesehatan tingkat pertama yang baru mencapai 56,07% pada 2022, sedangkan tahun lalu ditargetkan mencapai 83%.
Meski merupakan bidang kesehatan, kita sangat paham jika indikator- indkator itu sebenarnya sangat dipengaruhi tingkat ekonomi. Terbukti, provinsi-provinsi dengan capaian rendah indikator RPJMN itu juga merupakan provinsi dengan tingkat pendapatan terendah.
Contohnya ialah Nusa Tenggara Timur (NTT), yakni angka balita stunting, pada 2022, mencapai 35% atau merupakan tertinggi nasional. Sejurus dengan itu, pada 2021, pendapatan per kapita penduduk NTT hanya sepertiga rerata pendapatan penduduk Indonesia. Begitu pula dengan rasio elektrifikasi, pada 2022, NTT masih menjadi provinsi buncit. Padahal, potensi energi baru terbarukan di NTT merupakan salah satu yang terbesar di Nusantara.
Karena itu, ketika Presiden getol merayu investor asing untuk terjun dalam ekonomi hijau di Tanah Air, NTT dan provinsi-provinsi yang minim investasi lainnya mestinya lebih tersorot. Fokus sempit pada IKN ibarat melihat semut di seberang lautan, tetapi isu-isu gajah dikesampingkan.
Kita mendesak, di tahun terakhir pemerintahan ini, Presiden Jokowi fokus memperbaiki target kesehatan dan pendidikan. Apalagi, program kesehatan dan pendidikan masuk ke visi-misi teratas saat dahulu masa kampanye bersama Ma’ruf Amin.
Presiden harus sadar bahwa permasalahan besar pada kesehatan generasi belia akan membawa dampak berat bagi daya saing bangsa di masa mendatang. Penyelesaian inilah yang semestinya menjadi warisan besar Presiden ketimbang ambisi IKN.