
DARI berbagai pemilu, baik dalam maupun luar negeri, harga akibat hoaks bisa sangat mahal. Kalau luka politik mungkin bisa dipulihkan dengan strategi-strategi koalisi, tidak demikian dengan luka sosial.
Tidak sedikit masyarakat yang terus terjebak oleh kebencian dan curiga gara-gara hoaks pemilu. Akibatnya, bukan sekadar polarisasi di suatu komunitas atau daerah, melainkan juga kerugian dalam modal sosial. Alih-alih maju bersama, bangsa ini jadi waspada di ambang perpecahan.
Sebab itu, indikasi kembalinya serangan hoaks jelang pemilu harus dihadapi sangat serius. Menjelang Pemilu 2024, indikasi serangan hoaks telah diungkapkan Presidium Masyarakat Antifitnah Indonesia (Mafindo). Sejak awal 2023, mereka mendeteksi ada kenaikan jumlah hoaks politik, yakni ada 664 hoaks pada triwulan I 2023. Angka itu berarti kenaikan 24% dari periode yang sama tahun lalu.
Hoaks itu bukan saja menyerang tokoh-tokoh yang akan berkontestasi, melainkan juga menyerang partai dan pendukung mereka. Jurus hoaks juga tidak berbeda dengan pemilu sebelumnya, mulai politik identitas dengan isu SARA, tuduhan-tuduhan korupsi, bahkan hingga hoaks berupa konten manipulasi yang mengarah mesum atau pornografi. Penyebarannya masif lewat berbagai platform media sosial, baik Youtube, Facebook, maupun Tiktok.
Kecenderungan itu sesungguhnya serupa dengan yang terjadi sebelum Pemilu 2019, yakni hoaks mulai membanjir sejak Agustus tahun sebelumnya. Dengan pengalaman-pengalaman itu, antisipasi kali ini harus lebih baik.
Memang, Kementerian Komunikasi dan Informatika sejak 2020 telah menjalankan tiga mekanisme memerangi hoaks. Selain preventif lewat edukasi, dilakukan dua strategi korektif, yakni penegakan hukum bersama Polri, dan patroli siber 24 jam menggunakan kecerdasan buatan (AI). Hingga Januari 2023, patrol siber itu telah menangani 1.321 hoaks politik.
Kita berharap penegakan hukum sesuai dengan UU Nomor 19/2016 tentang Perubahan atas UU Nomor 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik juga ditegakkan. Sesuai dengan Pasal 45 ayat (3) UU ITE 2016 disebutkan bahwa setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun dan/atau denda paling banyak Rp750 juta.
Betul pula bahwa penerapan UU ITE 2016 jangan sampai dijadikan alat pemasung kebebasan berpendapat. Namun, sudah saatnya perang terhadap hoaks menjadi lebih serius dengan penggunaan segala instrumen hukum yang ada.
Penegakan hukum itu berarti pula tanpa tebang pilih, termasuk terhadap para politikus. Nyatanya, meski tidak terang-terangan menyebarkan berita/informasi palsu atau tiruan, banyak politikus yang dengan entengnya membuat pernyataan menyesatkan ataupun dengan konteks/koneksi yang salah. Hal-hal tersebut jelas masuk kategori hoaks dan sebab itu harus pula ditindak sama seperti hoaks lainnya.
Bahkan semestinya, para politikus yang menyebarkan hoaks harus menjadi sasaran utama penegakan hukum. Sebagaimana hasil Survei dan Polling Indonesia (Spin) tahun lalu, sebanyak 20,2% masyarakat meyakini sikap politikus menjadi faktor dominan yang menyebabkan polarisasi pemilu. Peran mereka lebih besar ketimbang pemengaruh (influencer) dan pendengung (buzzer).
Sebelum hukum menjerat para politikus penyebar hoaks itu sepantasnya masyarakat juga membuat filter sendiri. Masyarakat harus mencoret mereka dari pilihan pemimpin.
Masyarakat pantas memusuhi politikus hoaks karena merekalah sebenarnya pengkhianat demokrasi. Bahkan, tanpa menjadi pemenang pun mereka sudah bisa membuat kerusakan dengan menambah luka politik dan sosial.