09 March 2023, 05:00 WIB

Menggali Devisa Sektor Kesehatan


Mediaindonesia.com|Editorial MI

img

SUDAH sejak lama orang Indonesia doyan semua yang berbau luar negeri. Tidak hanya untuk produk barang, tapi juga produk jasa. Sebagian mungkin hanya demi mengejar gengsi, tapi sebagian lain memang memilih produk luar negeri karena kualitasnya yang dianggap lebih tinggi ketimbang produk ataupun layanan di dalam negeri.

Di dunia kesehatan pun berlaku hal itu. Fasilitas, kapasitas, kualitas, dan profesionalitas pelayanan kesehatan di luar negeri rata-rata memang lebih unggul. Tak mengherankan jika banyak dipilih orang Indonesia sebagai tujuan berobat ketika mereka sakit. Tak perlu jauh-jauh, Malaysia dan Singapura kini menjadi dua negara favorit yang paling banyak menerima pasien Tanah Air.

Sebetulnya, pada masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, isu ini sudah menjadi perhatian. "Saya tidak happy, bangsa kita sedikit-sedikit berobat ke Singapura, Tokyo, Jerman, Australia. Kita harus dirikan modern hospital yang jadi unggulan kita," kata SBY pada Mei 2010 silam.

Namun, nyatanya, jumlah WNI yang berobat ke luar negeri terus saja meningkat. Di sisi lain, fasilitas dan kualitas pelayanan kesehatan di Republik ini memang memperlihatkan kemajuan, tapi tetap belum bisa mengatasi ketertinggalan dari negara lain.

Jangankan kualitas, secara kuantitas pun jumlah rumah sakit masih sangat kurang. BPS mencatat pada 2021 terdapat 3.112 rumah sakit di Indonesia. Adapun jumlah penduduk mencapai 275,7 juta pada November 2022 lalu. Artinya, rasionya sangat jomplang, 1 banding 88.367, atau setiap rumah sakit melayani 88.367 penduduk.

Lalu, sekarang Presiden Joko Widodo mengulang kegeraman SBY. Jokowi menyesalkan masih banyak masyarakat yang memilih berobat ke luar negeri. Ia menyebut hampir 2 juta warga negara Indonesia setiap tahun berobat ke rumah sakit di negara lain.

Jokowi geram karena dalam hitung-hitungan Kementerian Kesehatan, ada devisa sebesar Rp165 triliun yang hilang akibat kunjungan WNI ke negara lain untuk tujuan berobat. Entahlah nilai yang disebut itu presisi atau tidak karena pada Oktober 2022 lalu, Presiden juga mengeluhkan hal yang sama, tapi menyebut angka devisa yang hilang Rp100 triliun.

Meski demikian, intinya, tren masyarakat berobat ke luar negeri adalah sebuah pemborosan devisa. Kalau devisa yang mencapai Rp100 triliun itu bisa ditahan di dalam negeri, tentu banyak hal bisa dilakukan atau dibangun di dalam negeri. Apalagi, sejatinya, kecenderungan orang memilih berobat di negara lain adalah indikasi bahwa investasi pada sektor kesehatan nasional memang kurang.

Karena itu, pemerintah jelas tidak bisa hanya menyesalkan warganya banyak berobat ke luar negeri. Pemerintah semestinya sudah tahu masalahnya. Ketimbang cuma mengeluh, lebih baik bergerak membenahi seluruh lini dalam sistem kesehatan nasional. Dengan demikian, ketika pembenahan itu membawa hasil signifikan, tanpa dipaksa pun orang akan kembali memilih rumah sakit domestik sebagi tujuan berobat.

Harus diingat, pembenahan sektor kesehatan bukan sebatas pada sisi pembangunan rumah sakit atau fasilitas fisik kesehatan lain. Yang tak kalah penting ialah kualitas sistem pelayanan, kapabilitas tenaga kesehatan, serta integritas dan profesionalitas dokter. Itu semua butuh investasi yang tidak sedikit.

Kiranya kita perlu menantang pemerintah untuk lebih berani berinvestasi membangun sektor kesehatan nasional yang lebih baik dan profesional. Profesionalitas menjadi salah satu poin penting karena ilmu pengetahuan kesehatan terus berkembang secara luar biasa.

Tanpa ada pembenahan yang cukup radikal, boleh jadi tahun depan Presiden Jokowi akan mengulang lagi kekesalan yang sama. Mengeluh soal devisa yang hilang sia-sia, tapi untuk mengucurkan investasi demi sistem kesehatan yang paripurna juga tak berani.

BACA JUGA
BERITA LAINNYA