03 March 2023, 05:00 WIB

Sabotase Pemilu


Mediaindonesia.com|Editorial MI

img

JAGAT kepemiluan dibuat kaget oleh putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, kemarin. Majelis hakim yang diketuai T Oyong dengan hakim anggota H Bakri dan Dominggus Silaban mengabulkan gugatan perdata yang diajukan Partai Rakyat Adil dan Makmur (Prima).

Dalam putusannya, majelis hakim memerintahkan KPU RI selaku tergugat untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilu 2024, kemudian melaksanakan tahapan pemilu dari awal selama kurang lebih 2 tahun, 4 bulan, dan 7 hari. Konsekuensinya, pelaksanaan pemungutan suara pemilu mundur ke Juli 2025.

Saking mengagetkannya, bagi orang yang paham tata cara penyelesaian sengketa pemilu, kabar putusan itu membuat sempat terdiam. Otak perlu beberapa detik untuk mencerna.

Itu bukan karena peliknya perkara, tetapi lantaran sulit percaya pengadilan negeri bisa sampai memutuskan perkara pemilu. Apalagi menimbulkan konsekuensi jadwal pemilu mundur ke tahun berikutnya.

Menurut Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu Pasal 469 ayat (2), apabila penyelesaian sengketa proses pemilu oleh Bawaslu tidak diterima oleh para pihak, para pihak dapat mengajukan upaya hukum kepada pengadilan tata usaha negara (PTUN). Jadi, yang diberi kewenangan PTUN, bukan pengadilan negeri.

Bila ditarik ke payung hukum yang lebih tinggi, putusan PN Jakarta Pusat tersebut juga melanggar konstitusi. Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 menyatakan pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali. Pemilu terakhir pada 2019, maka penyelenggaraan selanjutnya harus dilaksanakan pada 2024.

Para hakim yang memutus perkara Partai Prima ini jelas tidak menyadari betapa peliknya proses penentuan tanggal pemungutan suara di 2024 untuk pemilihan presiden, wakil presiden, anggota legislatif, dan anggota DPD, yang kemudian dilanjutkan dengan pilkada di tahun yang sama.

Mahkamah Konstitusi sampai turut dilibatkan untuk memberikan penafsiran yang pasti tentang keserentakan pemilu yang dimulai pada Pemilu 2024. Semua dilakukan agar pemilu digelar sesuai jadwal yang diamanatkan konstitusi dan UU Pemilu.

Lalu, ujug-ujug hakim Oyong dkk memutuskan tahapan pemilu yang sudah dimulai sejak 14 Juni 2022 harus diulang dari awal. Situ waras?

Partai Prima, ketika dinyatakan tidak lolos verifikasi administrasi, sempat menggugat KPU RI ke Bawaslu. Gugatan itu dikabulkan Bawaslu.

Bersama empat partai lainnya, Prima diberi kesempatan tambahan melengkapi dokumen administrasi untuk menjalani verifikasi ulang. Namun, hasilnya, KPU menyatakan Prima kembali tidak memenuhi syarat.

Bila tidak puas, Prima mestinya menggugat ke PTUN. Entah bagaimana gugatan itu bisa menyasar ke PN Jakpus. Yang lebih mengherankan, gugatan itu diproses lebih lanjut hingga sampai pada terbitnya putusan yang menyabotase Pemilu 2024.

Wajar bila kompetensi para hakim yang menangani perkara itu lantas dipertanyakan. Hakim sampai tidak paham undang-undang apalagi konstitusi, patutkah terus menjabat?

Lebih gila lagi jika ternyata ada unsur kesengajaan hakim menutup mata terhadap peraturan perundangan. Tidak bisa dimungkiri, putusan tersebut seirama dengan kehendak pihak-pihak yang selama ini menginginkan penundaan pemilu.

Walaupun KPU telah menyatakan akan banding, proses kepemiluan kini dilanda ketidakpastian sehingga sangat mudah disusupi kepentingan sepihak. Perkara putusan yang gegabah itu kiranya perlu diusut tuntas dan pihak peradilan secepatnya mengoreksi. Jangan biarkan para penyabot pemilu terpuaskan.

BACA JUGA
BERITA LAINNYA