23 January 2023, 05:00 WIB

Mengakhiri Diskriminasi


Mediaindonesia.com|Editorial MI

img

PERAYAAN Tahun Baru Imlek 2574 diwarnai sukacita segenap warga etnik Tionghoa di Tanah Air. Perayaan berjalan khidmat dan penuh syukur setelah melewati tahun yang tak mudah dilalui karena pandemi covid-19 dan kondisi ekonomi global yang cukup suram hingga berdampak pada perekonomian nasional. Imlek adalah waktu yang tepat untuk berkumpul bersama keluarga. Warga Tionghoa berdoa kepada Sang Pencipta agar diberikan kesehatan dan kemakmuran.

Imlek menjadi momentum menguatkan keberagaman, toleransi, solidaritas, dan gotong royong. Indonesia yang sedang memulihkan kondisi perekonomian yang terpuruk akibat terjangan badai pandemi membutuhkan partisipasi segenap elemen bangsa. Partisipasi yang tak perlu lagi memandang etnik, agama, warna kulit, adat, dan budaya. Mozaik keberagaman nan indah merupakan modal sosial untuk segera bangkit menuju Indonesia maju yang menyejahterakan rakyat dan disegani oleh bangsa-bangsa lain di dunia.

Sukacita Imlek adalah sukacita kita semua. Perjuangan warga Tionghoa untuk bisa merayakan tahun baru tidaklah mudah. Jalan terjal berliku harus dilalui untuk merayakannya secara terbuka dan penuh kehangatan. Presiden Soekarno sempat memperbolehkan perayaan Imlek. Namun, pada era Presiden Soeharto selama 32 tahun, Imlek dilarang dirayakan. Barulah Presiden ke-4 RI KH Abdurrahman Wahid atau yang akrab disapa Gus Dur memiliki keberanian politik untuk memberikan keleluasaan bagi warga Tionghoa merayakan Imlek.

Gus Dur mencabut Inpres Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat China melalui Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2000. Gus Dur tak hanya mempersilakan warga Tionghoa yang berjumlah sekitar 2,83 juta jiwa menjalankan aktivitas keagamaan dan kebudayaan, tetapi juga memberikan ruang untuk memperjuangkan hak-hak sipil mereka yang selama ini terdiskriminasi. Bapak bangsa ini memilih Kwik Kian Gie, yang berasal dari etnik Tionghoa, untuk menjadi Menteri Koordinator Bidang Perekonomian kala itu.

Imlek mengingatkan kita untuk selalu menjaga komitmen bersama sebagai sesama anak bangsa agar saling menghargai, tolong-menolong, dan bersinergi sehingga tak ada lagi sekat budaya, ekonomi, dan politik demi tumbuh bersama membangun bangsa dan negara. Tak ada lagi terminologi pribumi dan nonpribumi. Terminologi primitif yang hanya bersandarkan asal-usul, bukan pada karya dan dedikasi kepada Bumi Pertiwi. Terminologi pribumi dan nonpribumi hakikatnya diskriminasi terselubung.

Namun, patut diakui, hingga kini warga Tionghoa masih terdiskriminasi. Sebagian anak bangsa masih memberikan stigma kepada etnik Tionghoa. Tak mudah memang menghapus label buruk tersebut. Diperlukan keberanian, ketulusan, dan kesabaran untuk melenyapkannya dengan berbagai instrumen yang terukur. Kini, Pemilu 2024 menjadi kesempatan bagi partai politik dalam mengakomodasi warga keturunan Tionghoa untuk berpolitik, berjuang demi mengubah wajah Indonesia agar lebih beradab. Indonesia tanpa diskriminasi.

BACA JUGA
BERITA LAINNYA