17 January 2023, 05:00 WIB

MK Jangan Kehilangan Muka


Mediaindonesia.com|Editorial MI

img

HARI ini Mahkamah Konstitusi (MK) mulai menyidangkan gugatan judicial review Pasal 168 ayat (2) Undang-Undang No 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Ketangguhan MK sebagai penjaga pilar konstitusi kembali bakal diuji. Tidak hanya dalam hal penjagaan konstitusi, pada perkara ini MK bahkan berpeluang tampil sebagai penyelamat demokrasi atau malah sebaliknya.

Mengapa disebut begitu? Alasan pertama, yang menjadi objek gugatan kali ini ialah Undang-Undang Pemilu. Adapun pemilu merupakan salah satu tolok ukur terdepan dari kualitas demokrasi. Alasan kedua, sistem pemilu proporsional terbuka, poin yang kini digugat di MK itu, adalah sistem yang memuliakan daulat rakyat. Kita tahu rakyat adalah subjek utama demokrasi.

Dengan dua alasan itu, sudah lebih dari cukup untuk mengatakan bahwa titik krusial masa depan demokrasi Republik ini berada di pundak majelis hakim di MK. Apakah demokrasi bakal terselamatkan atau justru terkubur dalam-dalam, tergantung pendapat dan interpretasi MK.

Tugas publik sebatas mengingatkan agar mereka tetap memperhatikan tiga prinsip esensial dalam setiap pengambilan putusan, yaitu keadilan, kepastian, dan kemanfaatan.

Sesungguhnya MK sendiri yang telah memilih jalan konstitusional dengan menetapkan sistem pemilu proporsional terbuka sebagai sistem pemilu legislatif di negeri ini. Itu termaktub dalam Putusan MK Nomor 22/PUU-XX/2008 pada 23 Desember 2008 lalu yang menyatakan dasar penetapan calon anggota legislatif terpilih berdasarkan calon yang mendapatkan suara terbanyak secara berurutan.

MK mengonstruksikan frasa 'kedaulatan rakyat' sebagai dasar putusan mereka kala itu. Putusan itu pula yang menjadi basis penetapan sistem proporsional terbuka di dalam UU Pemilu. Secara praksis, sistem itu pun telah dilaksanakan pada Pemilu 2009, 2014, dan 2019.

Pertanyaannya, bisakah MK mengubah putusan mereka sendiri di masa lalu? Bukankah setiap putusan MK itu bersifat final dan mengikat? Barangkali para ahli tafsir hukum yang bisa menjawab; mengiyakan atau mendebat hal tersebut. Mungkin saja bisa, meskipun bagi kebanyakan awam hal tersebut rada aneh.

Namun, seandainya pun MK bisa melakukan itu, semestinya tidak menjadi soal sepanjang putusan mereka terdahulu tetap dipakai sebagai yurisprudensi yang telah diterima perihal norma yang diuji. MK tidak bisa mengabaikan hal itu, seolah-olah apa yang diperkarakan hari ini tidak punya relasi dengan perkara untuk norma yang sama di masa lalu.

Pun, MK sejatinya punya pendirian bahwa urusan sistem pemilu adalah legal policy pembentuk undang-undang, yaitu pemerintah dan DPR. Bukan ranah mereka untuk menentukan sistem yang mesti dipakai dalam pemilu kita. Karena, dari kacamata MK, baik sistem proporsional terbuka maupun tertutup, keduanya konstitusional. Maka, bila konsisten dengan pendirian itu, MK semestinya menolak gugatan atas sistem tersebut.

Namun, bila MK punya pertimbangan lain sehingga menerima permohonan judicial review atas UU Pemilu tersebut dan sistem pemilu kembali ke sistem tertutup, semestinya MK pun mengerti bahwa DPR sebagai pembuat UU memiliki kewenangan legislasi membentuk UU Pemilu yang 'baru'.

Parlemen dapat menempuh langkah legislative review, yakni mengamendemen UU Pemilu hasil judicial review MK. Hal tersebut amat mungkin dilakukan mengingat mayoritas fraksi di DPR sebelumnya sudah menyatakan tegas menolak sistem pemilu kembali menjadi tertutup. Hanya satu fraksi, PDI Perjuangan, yang justru ingin balik ke sistem tertutup.

Sangat mungkin delapan fraksi penolak sistem tertutup itu tidak akan tinggal diam jika MK memutuskan menerima gugatan yang berarti mengembalikan kita ke sistem yang tidak senapas dengan spirit demokrasi. Jika DPR pada akhirnya menempuh jalan tersebut, putusan MK yang final dan mengikat tak lagi punya makna. Bukankah itu akan membuat sang penjaga konstitusi tersebut malah kehilangan muka?

Karena itu, MK mungkin perlu mengingat lagi bahwa dalam perkara ini mereka tidak hanya berperan sebagai penjaga konstitusi, tetapi juga diharapkan menjadi penyelamat demokrasi.

BACA JUGA
BERITA LAINNYA