16 January 2023, 05:00 WIB

Menutup Jalan Sistem Tertutup


Mediaindonesia.com|Editorial MI

img

MEMULIAKAN daulat rakyat ialah masterpiece reformasi. Namun, kini karya agung itu mulai diganggu-ganggu dengan wacana dan upaya untuk kembali ke masa lalu, masa kegelapan demokrasi.

Rakyat berdaulat jika mereka betul-betul berkuasa atas diri sendiri di negeri sendiri. Rakyat berkuasa jika mereka memiliki kebebasan penuh untuk menentukan pemimpin yang dikehendaki dan menjadi pemain utama dalam kompetisi demokrasi.

Itulah yang terjadi dalam tiga pemilihan umum terakhir. Dengan proporsional terbuka, dengan memberikan ruang seluas-luasnya bagi rakyat untuk memilih langsung wakil-wakilnya di legislatif, kedaulatan itu ada. Itulah langkah maju demokrasi kita.

Akan tetapi, ternyata tak semua anak bangsa suka kemajuan. Ada juga yang menginginkan kemunduran dalam demokrasi. Dengan dalih adanya sejumlah kekurangan di proporsional terbuka, mereka bernafsu mengembalikan sistem pemilu ke proporsional tertutup.

Sistem proporsional tertutup memaksa rakyat hanya mencoblos lambang partai dan partailah yang menentukan wakil mereka di parlemen. Artinya, kedaulatan tak sepenuhnya di tangan rakyat.

Sistem proporsional terbuka memang tak sempurna. Ada kelemahan di dalamnya, termasuk memicu politik biaya mahal. Kualitas pemimpin juga menjadi persoalan karena mereka yang terpilih boleh jadi hanya karena menang popularitas dan banyak uang. Akan tetapi, haruskah kita kembali ke sistem tertutup seperti pada Pemilu 1955 atau di zaman Orde Baru?

Harus tegas kita katakan, tidak.

Proporsional terbuka tetaplah sistem yang paling tepat. Kalau ada kelemahan, tugas kita semua terutama partai politik untuk memperbaikinya. Lagi pula, sistem tertutup juga banyak kekurangan, dan yang paling parah ia menutup hak rakyat untuk berdaulat seutuhnya.

Proporsional terbuka juga legal dan konstitusional. Ia diatur dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Putusan Mahkamah Konstitusi tertanggal 23 Desember 2018 pun menguatkan bahwa sistem pemilu yang digunakan ialah suara terbanyak alias sistem terbuka.

Karena itu, apa urusannya tiba-tiba ada usaha untuk mengubahnya?

Kita menghormati para pihak yang mengajukan uji materi ke MK agar sistem pemilu diubah. Namun, kita juga boleh mempersoalkan apa sebenarnya motif Anda? Murni demi perbaikan pemilukah niat Anda?

Kita menghargai sikap PDIP sebagai satu-satunya partai di parlemen yang menginginkan sistem proporsional tertutup. Namun, kita juga berhak mempertanyakan apa sesungguhnya tujuan Anda?

Kepada MK yang menyidangkan uji materi tersebut, besok, kita berharap teguh berperan sebagai penjaga konstitusi. Kalau sebelumnya melegalkan proporsional terbuka, patutkah jika putusan nanti bertolak belakang karena ada partai besar yang menghendaki?

MK perlu mengingat bahwa jika mengabulkan sistem tertutup, putusan judicial review itu dapat di-review kembali lewat legislative review. DPR bisa menggunakan haknya sebagai pembuat undang-undang dan karena delapan partai setia pada sistem terbuka, PDIP dapat ditumbangkan.

Hal itu jelas akan menampar muka MK.

Hakim MK sembilan orang yang terdiri dari tiga jatah DPR, tiga jatah MA, dan tiga jatah presiden. Di sinilah pula keberpihakan Presiden Jokowi untuk mempertahankan sistem terbuka pilihan rakyat ditunggu rakyat. Kita tidak ingin rakyat bak membeli kucing dalam karung untuk memilih wakil-wakilnya karena pada akhirnya bergantung pada elite-elite partai.

Pada konteks itu, jalan untuk kembali ke proporsional tertutup sesungguhnya sudah tertutup. Jika ia dipaksakan, kenapa kuasa rakyat yang lain tidak sekalian dibunuh? Sekalian saja hak rakyat memilih presiden secara langsung diamputasi dan dikembalikan lagi ke MPR.

Kalau perlu, bikin masa jabatan presiden tiga periode, satu periode tak cukup lima tahun, tetapi 10 tahun. Dengan begitu, dia bisa berkuasa 30 tahun seperti era Pak Harto dulu, era daulat rakyat sekarat. Mengerikan.

BACA JUGA
BERITA LAINNYA