
INDONESIA diprediksi akan cepat memulihkan ekonomi pascapandemi covid-19 meskipun pemulihan ekonomi secara global masih loyo. Keyakinan pemulihan ekonomi lebih cepat didasarkan atas keberhasilan Indonesia menangani pandemi covid-19, yakni antara gas dan rem berjalan dengan orkestrasi yang harmonis.
Tengok saja Standard Chartered Bank menurunkan proyeksi ekonomi global tahun ini, yaitu dari 3,4% menjadi 3% karena risiko resesi AS dan Uni Eropa di tengah lonjakan inflasi. Menariknya, bank yang bermarkas di Inggris itu justru memperkirakan ekonomi Indonesia pulih lebih cepat tahun ini. Bahkan, proyeksi pertumbuhan ekonomi RI naik dari 4,8% menjadi 5,1% pada 2022.
Senada, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan kinerja pemulihan ekonomi Indonesia, termasuk kategori terbaik di antara negara G-20 dan ASEAN. Keyakinan ini bukan omong kosong apabila kita melihat faktor-faktor yang mendukung pemulihan ekonomi lebih cepat.
Sederet fakta bisa memperkuat keyakinan tersebut. Di antaranya, pertama, PDB riil pada 2021, yakni Indonesia berada 1,6% di atas level prapandemi. Kedua, tren pemulihan ekonomi Indonesia semakin membaik dengan pertumbuhan ekonomi berada di atas 5% pada tiga kuartal berturut-turut, sementara di banyak negara justru mengalami perlemahan, bahkan anjlok.
Ketiga, tingkat inflasi Indonesia masih relatif moderat di angka 4,9% jika dibandingkan dengan banyak negara lain. Keempat, stabilitas eksternal Indonesia terjaga baik. Hal itu ditandai dengan surplus neraca pembayaran yang ditopang oleh kinerja ekspor yang tumbuh 32%.
Salah satu sektor yang menyokong pertumbuhan ekonomi nasional ialah industri batu bara. Lonjakan harga komoditas global yang mendorong tingginya kinerja ekspor turut mendongkrak pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal I/2022. Alhasil, ekspor Indonesia pada kuartal I/2022 tumbuh signifikan sebesar 16,22% secara tahunan. Kenaikan kinerja ekspor tidak terlepas dari harga komoditas yang meningkat, salah satunya batu bara.
BPS mencatat ekspor komoditas batu bara ini memberikan kontribusi 4,5% terhadap total PDB Indonesia pada kuartal I/2022 meski ekspornya sempat dilarang oleh pemerintah pada awal tahun.
Industri baru bara memiliki peran strategis. Pertama, meningkatkan penerimaan negara. Kedua, mendukung ketahanan energi yang sangat penting untuk menggerakkan perekonomian. Dunia sedang kalang kabut menghadapi krisis energi akibat perang Rusia-Ukraina. Namun, Indonesia justru memiliki pasokan energi yang menggembirakan.
Indonesia memiliki kekayaan sumber daya alam berlimpah-ruah, di antaranya dari pertambangan mineral dan batu bara. Kekayaan ini perlu dikelola dengan matang, akuntabel, transparan, dan menyejahterakan rakyat. Sumber daya alam yang berlimpah itu patut kita syukuri. Namun demikian, hal itu jangan hanya dipandang sebagai komoditas perdagangan, tetapi harus menjadi modal pembangunan yang berkelanjutan dengan memberikan nilai tambah bagi anak negeri. Untuk memberikan nilai tambah kuncinya ada di hilirisasi.
Presiden Joko Widodo pada tahun lalu pernah meminta peta jalan optimalisasi batu bara dalam negeri dipercepat. Tujuannya ialah agar Indonesia segera bergeser dari negara pengekspor barang mentah batu bara menjadi pengolah bahan mentah sebagai barang jadi atau setengah jadi. Optimalisasi batu bara dilakukan dengan teknologi ramah lingkungan menuju transisi energi, misalnya dengan gasifikasi batu bara atau dimethyl ether (DME). Lalu gasifikasi batu bara menjadi syngas dan yang diperlukan industri petrokimia serta DME yang sangat penting sebagai substitusi elpiji sehingga bisa mengurangi impor elpiji.
Banyak jalan menuju Roma. Kekayaan energi yang berlimpah sejatinya harus menjadi berkah bukan musibah. Dengan demikian, target pemerintah pada akhir 2030 Indonesia sudah bisa menjadi negara net zero dalam hal emisi karbon bukan hal yang utopis.