12 August 2022, 05:00 WIB

Mengajar Pendidik Intoleran


Mediaindonesia.com|Editorial MI

img

 

KASUS-KASUS intoleransi tampaknya masih akan terus timbul di negeri ini. Betapa tidak? Banyak kasus, bahkan yang terjadi beberapa tahun belakangan ini, berlangsung di lingkungan lembaga pendidikan. Terlebih pelakunya justru dari kelompok pendidik.

Dalam pertemuan dengan Dinas Pendidikan DKI Jakarta, Fraksi PDI Perjuangan di DPRD mengungkap sejak 2020 telah menerima aduan kasus-kasus dugaan intoleransi di 10 sekolah negeri di Ibu Kota. Pelakunya pun merupakan guru dan pihak pengurus sekolah.

Kasusnya beragam. Namun, seluruhnya terkait dengan toleransi menjalankan keyakinan beragama. Mulai pemaksaan memakai jilbab kepada siswi hingga kewajiban mengikuti pelajaran atau ritual keagamaan terhadap murid yang beragama berbeda.

Fenomena dugaan intoleransi di sekolah-sekolah negeri DKI Jakarta itu menambah panjang deretan kasus serupa yang terjadi di sekolah-sekolah negeri di berbagai daerah. Pada 2014, terjadi kasus pelarangan penggunaan jilbab di beberapa sekolah di Bali, seperti SMPN 1 Singaraja dan SMAN 2 Denpasar.

Ada pula larangan hijab di SMAN 1 Maumere pada 2017 dan kasus serupa di SD Inpres 22 Wosi Manokwari pada 2019. Kemudian, pada Juni 2019, terbit surat edaran di SDN 3 Karang Tengah, Gunung Kidul, Yogyakarta, yang mewajibkan seluruh siswa mengenakan seragam muslim.

Pekan lalu juga mencuat kasus dugaan pemaksaan pemakaian jilbab di SMA Negeri 1 Banguntapan, Kabupaten Bantul, DIY. Kita patut menduga masih banyak kasus lain yang sebagian besar tidak terungkap ke publik.

Padahal, semestinya lembaga pendidikan merupakan wadah terdepan penyemaian bibit-bibit tenggang rasa serta saling menghormati dalam keberagaman dan menjalankan keyakinan beragama.

Melalui lingkungan pendidikan, sikap toleran di tengah kebinekaan dapat dilakukan sejak dini agar lebih kuat mengakar dalam diri anak-anak bangsa. Tujuan itu akan sulit tercapai ketika sosok-sosok pendidik justru mempraktikkan perilaku intoleran di hadapan anak didik.

Kiranya masih relevan hasil survei Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 2018 yang menunjukkan lebih dari separuh guru atau tepatnya 56,9% di berbagai tingkatan pendidikan beropini intoleran. Survei tersebut kebetulan dilakukan terhadap 2.237 guru muslim TK hingga SMA.

Setelah melihat masih cukup banyak kasus dugaan intoleransi di lingkungan sekolah, timbul pertanyaan apa yang menjadi penyebabnya?

Salah satu yang mesti diluruskan ialah perbedaan persepsi tentang intoleransi itu sendiri. Para pendidik dan pengurus sekolah dalam berbagai kasus dugaan intoleransi itu tampaknya tidak paham betul tentang sikap-sikap yang termasuk intoleran.

Pun, dalam kaitan menjalankan keyakinan beragama misalnya, sebagian masyarakat masih menganggap toleransi hanya melibatkan antaragama, bukan di antara sesama pemeluk agama yang sama.

Akibatnya, pemaksaan pemakaian jilbab kepada siswa muslim dinilai bukan sebagai tindakan intoleran. Padahal, di situ juga ada perbedaan keyakinan dalam menjalankan ajaran agama.

Kasus pemaksaan jilbab hanya kerikil kecil, sedangkan batu gunungnya contohnya intoleransi terhadap warga Ahmadiyah. Intinya pun sama dengan sikap intoleran terhadap pemeluk agama lain, yakni memaksakan keyakinan.

Hal tersebut tentu tidak bisa dibiarkan dan mesti diperbaiki dengan mengajar para pendidik. Itu mungkin perlu waktu yang tidak singkat. Pengarusutamaan, pembelajaran, dan pemahaman terhadap moderasi beragama memerlukan proses dan tahapan, termasuk melalui jalur pendidikan, agar terintegrasi ke dalam segala aspek kehidupan.

BACA JUGA
BERITA LAINNYA