
MESKI tampak seperti angin segar, perjanjian ekstradisi buronan (extradition treaty) Indonesia–Singapura yang disaksikan kedua kepala negara di Bintan, kemarin, bukan baru. Empat belas tahun lalu PM Singapura Lee Hsien Loong telah menyaksikannya penandatanganan serupa bersama Presiden ke-6 RI, Susilo Bambang Yudhoyono. Namun, perjanjian yang dibuat 2007 itu tidak pernah berjalan karena tidak diratifikasi DPR.
Maka perjanjian yang dilakukan kini ialah percobaan kedua untuk mengonkretkan perjanjian ekstradisi yang langkah awalnya sudah dirintis sejak 1972. Mengapa perjanjian ini demikian alot diwujudkan tidak lain karena pakta lain yang ikut diminta Singapura, yakni perjanjian kerja sama pertahanan (DCA).
Negara tetangga itu meminta penggunaan sebagian wilayah perairan dan udara di sekitar Sumatra dan Kepulauan Riau untuk latihan militernya. Sebelumnya Indonesia dan Singapura telah memiliki perjanjian ini, tetapi berakhir pada 2003 dan ikut diperbaharui pada 2007. Namun, DPR menolak meratifikasinya hingga berimbas pula pada perjanjian ekstradisi.
Tarik-ulur dalam perjanjian antarnegara memang bukan aneh. Seperti ungkapan lama ‘tidak ada makan siang gratis’, maka jelas tidak ada negara yang memberikan sesuatu cuma-cuma kepada negara lain. Kepentingan nasional masing-masing, bagaimanapun pasti jadi yang utama.
Kini, nasib perjanjian ekstradisi kembali di tangan DPR. Imbal yang diminta Singapura pun tetap sama, yakni diikutkannya perjanjian DCA.
Beberapa pihak menilai jika nasib kedua perjanjian itu akan berbeda sekarang karena Koalisi Presiden Jokowi mendominasi parlemen. Meski begitu, kepentingan nasional tidak boleh tercederai.
Jikalaupun ada versi baru perjanjian DCA, tidak boleh ada poin mengancam segala kepentingan nasional, baik keselamatan rakyat, ekonomi, apalagi soal kedaulatan negara. Segala hal yang bersifat abu-abu dan mengundang tafsir berbeda ialah haram.
Hingga saat ini Indonesia telah berhasil membuat perjanjian ekstradisi dengan Malaysia, Thailand, Filipina, Vietnam, Australia, Republik Korea, Republik Rakyat Tiongkok, dan Hong Kong SAR. Belum adanya perjanjian ekstradisi dengan Singapura memang menjadi celah yang amat mengganggu.
Kedekatan lokasi dengan Indonesia membuat Singapura benar-benar surga bagi koruptor Tanah Air. Sejumlah maling kakap negara ini pun memilih kabur ke sana, sebut saja Djoko Tjandra, Nunun Nurbaeti, pasangan Sjamsul dan Itjih Nursalim, M Nazaruddin, sampai Gayus Tambunan.
Perjanjian ekstradisi memang merupakan penuntas rasa keadilan. Dengan perjanjian ekstradisi, kita dapat membawa pulang para buron dan memastikan mereka menjalankan masa tahanan.
Di sisi lain, yang tidak kalah penting dalam kasus korupsi adalah menyelamatkan negara. Hal inilah yang menjadi pekerjaan rumah besar saat ini.
Urgensi penyelamatan uang negara inilah yang diwujudkan peradilan in absentia lewat Pasal 38 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, lalu dicabut sebagian dengan Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.
Bunyi Pasal 38 ayat (1) UU 31/1999 adalah Dalam hal terdakwa telah dipanggil secara sah, dan tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang sah, maka perkara dapat diperiksa dan diputus tanpa kehadirannya.
Selanjutnya, pada Penjelasan Pasal 38 (1) UU 31/1999 disebutkan: Ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan untuk menyelamatkan kekayaan negara sehingga tanpa kehadiran terdakwa pun, perkara dapat diperiksa dan diputus oleh hakim.
Dengan begitu, babak krusial pemberantasan korupsi sesungguhnya sudah dibuka lama, bahkan tanpa perjanjian ekstradisi. Seluruh jajaran penegak hukum memiliki tanggung jawab untuk memaksimalkan penyelamatan uang negara karena pemiskinan ialah hukuman paling nyata bagi koruptor.