DUA tahun lalu di kolom yang sama saya menulis tentang usia 40. Saking spesialnya, usia 40 disebut khusus dalam ayat Alquran.
Menurut para pakar tafsir, hal ini disebabkan pada usia inilah manusia mencapai puncak kehidupannya, baik dari segi fisik, intelektual, emosional, karya, maupun spiritualnya. Apa yang dialami pada usia ini sifatnya stabil, mapan, kukuh.
Buktinya, Rasulullah diutus menjadi nabi tepat pada usia 40 tahun. Tentu karena Allah pun menganggap usia 40 ialah usia yang paling tepat untuk seseorang menjalani 'kehidupan baru'. Ingat pepatah Life begin at 40 kan?
Beberapa hari yang lalu saya genap berusia 42 tahun. Ketika saya berpikir apa yang spesial dari angka 42, saya iseng googling dan menemukan jawaban yang lumayan bikin kaget. Coba ketik ‘Answer to the Ultimate Question of Life, the Universe, and Everything’ lalu klik tombol search, tebak apa jawabannya? Ya, 42!
Tidak seperti angka 40 yang berasal dari kitab suci, ini berasal dari sebuah drama radio yang kemudian menjadi novel dan film berjudul The Hitchhiker’s Guide to the Galaxy.
Douglas Adams, penulisnya, secara iseng menambahkan sebuah humor bahwa jawaban terhadap alam semesta dan semuanya ialah angka 42 ketika bertanya kepada Deep Thought, sebuah superkomputer.
Uniknya, setelah itu geeks di seluruh dunia berusaha dengan sekuat mereka untuk menemukan makna simbolis yang dalam terhadap angka tersebut dan perulangannya. Hasilnya cukup mengejutkan karena angka 42 banyak muncul dalam berbagai bidang, seperti matematika, science, teknologi, astronomi, agama, bahkan sampai budaya pop seperti musik dan film.
Angka 42 bisa berarti sudut optimal cahaya putih menembus air untuk menciptakan pelangi, halaman di buku Harry Potter and the Philosopher’s Stone saat dia mengetahui dirinya ialah seorang penyihir, kecepatan Titanic saat menabarak gunung es, sampai usia Elvis Presley saat meninggal.
Jujur, semakin banyak membaca angka 42 ini berperan, saya semakin yakin ini hanyalah ilmu cocoklogi, hehe.
Sayidina Ali pernah berkata bahwa setiap napas seseorang adalah sebuah langkah menuju ajalnya. Betapa beruntungnya saya, ketika tahun lalu bertemu dengan seseorang yang saya anggap sebagai guru spiritual.
Ia menyadarkan saya betapa telah banyak waktu yang saya sia-siakan. Setelah pertemuan itu saya menjadi orang yang berbeda. Berbeda dalam artian saya menjadi orang yang lebih kompetitif dari sebelumnya.
Saya tidak bersaing dengan siapa pun. Saya bersaing dengan diri sendiri. Saya bersaing dengan 'dark side' saya sendiri yang selama ini sering mengalahkan sisi benderangnya.
Saya bersaing dengan saya di masa lalu agar lebih berkualitas di masa kini dan kemudian di masa depan. Bersaing dengan kebiasaan buruk, bersaing dengan keegoisan dan kebanggaan diri, bersaing dengan keengganan berubah, bersaing dengan penundaan, bersaing dengan kepuasan dan prestasi masa lalu, bersaing dengan kemalasan, bersaing dengan rasa mudah menyerah. Bersaing dengan diri kita sendiri, atas diri kita sendiri.
Selama ini saya lebih menikmati bersaing dengan orang lain sehingga abai untuk melihat ke dalam tempat yang banyak kecemerlangan menunggu untuk ditemukan.
Saat kita sadar bahwa saingan kita ialah diri kita sendiri, kita akan lebih peka membaca diri, meraba diri, mencermin diri, mengevaluasi diri, yang akan membuat kita bijak dalam memilih langkah, berani untuk memilih dan memutuskan apa yang baik dan apa yang buruk.
Teringat lirik lagu dari band Level 42 'ego and pride, the great divide. I was but i’m not faking now. Don’t multiply the tears we cry. I want love in a peaceful world.' Saya ingin bahagia di sisa usia saya.