ADA yang dinamakan nafs atau nafas, ada pula yang dinamai nafsu. Ketiga hal ini menyerupai atau mirip-mirip, tetapi memiliki makna yang berbeda-beda. Jika saya berkata nafas, maka bisa diartikan nyawa, yaitu kullu nafsin zaikatul maut, artinya tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati.
Demikian pula jika saya berkata nafsu atau hawa nafsu, berarti itu sebagai dorongan negatif. Berdasarkan kata hawa yang berarti jatuh atau dorongan yang menjatuhkan derajat kemanusiaan seseorang.
Ada pula yang dinamai anfus, yakni totalitas manusia. Di dalam anfus terdapat akal, ada nyawa, ada tenaga, atau tempat ketika Allah berfirman Jaahiduu bi amwaalikum wa anfusikum fii sabiilil laah, artinya berjihad di jalan Allah, dengan harta dan jiwa (seluruh totalitas) mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah.
Berbagai macam nafs itu dalam konteks jiwa manusia pun demikian. Ada pula nafsun ammarah, nafsun lawwamah, nafsun muthmainnah. Masing-masing yakni nafsun ammarah adalah yang berulang-ulang menyuruh seseorang kepada hal yang negatif, nafsun lawwamah adalah yang mengecam manusia karena perbuatan buruknya, dan nafsun muthmainnah adalah nafsun jiwa yang tenang.
Dia merasa tenang karena telah mengikuti tuntunan-tuntunan Allah. Dia merasa tenang karena mengikuti tuntunan akal dalam kedua aspek akal tersebut. Tetapi jika nafsu akan menentukan keinginan ini dan tidak mau selainnya, dia seperti anak kecil. Seperti berjanji memberikan mainan tertentu maka dia tidak mau mengerti yang lain, kecuali mainan tersebut.
Padahal, kadang kita ingin memberikan sesuatu yang lebih baik, dan anak kecil menolak. Begitulah perumpamaan nafsu. Namun, kita membutuhkan nafsu yang terkendali. Sebab, nafsu bagaikan anak kecil, jika tidak dituruti maka dia akan berontak.
Sebaliknya, jika kita tekan maka pada akhirnya dia akan menerimanya. Itulah makna sesungguhnya nafs atau nafsu. (Fer/H-3)